Selasa, 30 Mei 2017 | By: Unknown

Negeri 1980 - Part 5

(Oleh: Andrew A. Navara)


Kau boleh saja, mengatakan, ‘Orang Kuno…, Ndesoo…, Nggak Modern…, Terlalu Berisik.’ Silahkan saja. Aku tak apa-apa. Mungkin orang terdahulumu pun juga tidak apa-apa kepada apa yang kau buat candaan itu. Candaan yang terkadang buat kami merasa tersindir, tanpa sepengetahuan kalian. Bukan membawa perasaan…. Melainkan ini mengenai perasaan. Tidak ada yang bisa mengerti perasaan orang lain, terkecuali orang itu sendiri dan sang Pencipta. 
Kau tentunya juga lupa sepertinya. Bagaimana tidak?? Kau kini menikmati sisa-sisa peninggalan kami di saat itu. Bukankah ibu, bapak, kakek, nenek, bahkan canggamu terdahulu adalah orang lama yang ada di negeri 1980 dan sebelumnya?
Bukankah teknologi masa kini dikembangkan juga masih berada dalam ranah peralatan di masa lalu untuk dikembangkan mengikuti perkembangan zaman terkini? Bagus memang, dengan demikian yang terdahulunya membuat kami susah kini menjadi mudah. Dulu yang tidak tidak ramah lingkungan, kini menjadi ramah lingkungan dan menjadikan lungkungan adalah factor paling utama.
Lupakah? Ah.. sudahlah. Aku tak mau memintamu mengingatnya lagi mengenai masa itu. Kau akan berkata. “Untuk apa masa lalu diingat. Untuk apa bila yang sudah terlewati itu dibuka kembali, lalu saat dibuka akan terperangkap lama di dalamnya. Jalani saja yang terjadi saat ini. Rencanakan pula untuk hari esok. Tak perlu ingat akan hal yang sudah terlewati.”
Benar bukan? Benar atau tidak itu bukan urusanku. Melainkan itu urusanmu. Bagaimana pun aku tak akan bisa memintamu untuk sependapat denganku sebab aku saja terkadang tak sependapat denganmu. Pun juga denganmu. Negeriku sangatlah berbeda dengan negerimu saat ini yang jauh lebih modern dan berkembang pesat bila dibandingkan dengan Negeri 1980.
Negeri yang masih sekali minim teknologi. Minim teknologi tak menghentikan mengenai apa-apa yang akan dikerjakan. Jangankan untuk minim teknologi. Listrik pun juga sangat minim sekali. Telepon genggam? Ah.., dulu belum ada yang namanya telepon genggam. Terlebih pesawat telepon. Komunikasi sangatlah sulit, bilamana mempunyai kerabat yang jauh dari kami. Meskipun jauh, kami selalu menyempatkan diri untuk berkumpul disaat setahun sekali saat berlebaran. Terasa kurang, bilamana lebaran tak berkumpul dengan sanak saudara.
Seperti yang dirasakan oleh Bik Mun, tiga tahun sebelum ia kembali kepada sang pemcipta. Ia kerap mengharap anak bungsunya yang bekerja di luar negeri kembali ke kampong halaman. Bersama-sama merayakan lebaran, seperti pada keluarga lainnya. Tak meriah memang, sederhana, namun menyenangkan sebab hanya dimomen seperti ini, keluarga besar berkumpul. Tetapi tidak dengan Bik Mun. Tiga tahun, berlebaran hanya dengan satu anaknya saja. Tidak dengan anak bungsu yang kerap diharapkan kedatangannya. Sepucuk surat pun juga tak pernah datang. Entahlah, apakah pak pos lupa mengantarkan surat anak bungsu Bik Mun? Ataukah alamat pos sedang menuju ke rumah yang salah?
Guratan wajah tuanya, penuh akan harap untuk bisa berbincang ke sana-kemari antar sesame perempuanya. Minimal bisa menatap wajah anaknya itu, apakah masih tetap ataukah ada perubahan? Entahlah anak bungsu sedang ke mana? Sudah tiga tahun sebelum Bik Mun kembali ke sang kuasa, tak pernah ada kabar. Semoga saja, anak bungsu Bik Mun baik-baik saja di sana, tidak seperti yang dikatakan oleh tetangga sebelahnya yang bernasib sama dengan anak Bik Mun yang sedang bekerja di luar negeri, sebagai pembantu orang-orang asing di sana.
Mengenai negeri 1980. Aku suka menyebutnya negeri 1980, meskipun aslinya yang kumaksud adalah era 80an. Ada yang salah? Mungkin ada. Mohon untuk dimaafkan, sebab aku menambahkan angka 1 dan 9 di depan angka 80. Bukan…, bukan hanya karena alasan tahun itu adalah tahun 1980.
Aku suka menambahkan angka 1 dan 9, selain aku suka negeri 1980. Kurasa negeri 1990 aku juga mencintainya. Tenang, bilamana aku nanti mengajakmu masuk ke dalam negeri 2000, aku akkan pasti menukiskannya negeri 2000. Bukan negeri 19200.
Aku memang tak pandai seperti yang kau kira, tetapi aku tahu sedikit mengenai aturan. Tak apa pula bila kau anggap aku tak pintar. Tetapi diriku meengatakan aku jauh lebih dari yang kukira dan jauh dari kata negatif yang kau ciptakan sendiri. Aku terima penilaianmu. Tetapi aku juga berhak menilaiku dan tidak mendengarkan tentang kata negatif yang kau ucapkankan? Benar bukan?
Bilamana nanti aku mengajakmu ke negeri 2000, aku tak akan menyebutnya 19200, hanya karena aku suka angka 1 dan 9 aku menyelipkannya disetiap angka-angka. Mengapa dengan angka 1 dan 9 itu?
Ah…, sudahlah itu menjadi bagian dari rahasiaku. Kalaupun kau kuberi tahu, belum tentu juga memperhatikan dan mungkin pada golongan generasi yang muncul yang aku tak tahu dari mana asal muasalnya akan mengatakan, ‘Hmmm, nggak nanya tuh!’ ketika nanti mereka akan mendengarkan penjelasanku.
Namun. Mohon maaf. Aku tak akan menyebut negeri 2000. Karena aku lebih suka menyebut negeri saat ini atau zaman saat ini, bila dibandingkan negeri-negeri 1980 di dalam apa yang ingin kutunjukkan kapadamu mengenai negeri 1980 yang aku rindukan, yang aku masih saja menyimpannya di dalam microchipku.
Ya…, aku tahu betul. Ketika pada negeri 2000 ku tambahkan 1 dan 9, hanya karena aku menyukai angka 1 dan 9 saja sehingga aku memaksakannya. Tak mungkin juga keadaan itu dipaksa bilamana realitanya tak mengizinkan, lebih lagi hal itu adalah hal yang sudah baku dan memang harus dibakukan dan tidak bisa dirubah-rubah lagi.
Namun bila kau percaya dapat memaksa dan merubahnya, kau bisa saja. Lebihkaan kepercayaaanmu mengenai hal itu, lalu imbangi dengan action, dan tak lupa ingatlah kepada Tuhan. Tuhan adalah segala-galanya. Ia pula yang melancarkan atas apa yang kau mau. Tak mungkin baginya pula kepada apa yang akan dikehendakiNya.
Mengenai Alam. Alam negeri 1980. Begitu berubah jauh dengan alam negeri 2000. Kesantunan mulai runtuh. Panggilaan kepada orang yang berumur dengan pangilaan 'kamu' bukan lagi panggilan 'nama' atau panggilan bahasa halus dari bahasa ibunya.
Kenakalan remaja semakin menjadi. Hamil diluar nikah mulai menjadi menggila. Perempuan keluar rumah malam-malam dengan lawan jenis sudah menjadi tradisi. Printah agar tidak pulang terlalu malam, kerap diganti dengan persepsi untuk pulang pagi atau pulang esok di luar jam-jam malam tentunya.
Pakaian pun juga mulai meniru budaya barat. Pakaian ketat yang memperlihatkan kemolekan tubuhnya, bahkan juga menarik sepadang mata lawan jenis untuk melihatnya lekat-lekat dan tak mau berpindah ke arah yang lain. Ah…, di zaman seperti, apalah arti sebuah himbuan, bilamana ia belum merasakan apa yang sudah dirasakannya nanti. Berbeda dengan di negeri 1980. Kebanyakan mereka patuh kepada himbauan yang diberikannya. Bukan.., bukan alas an zaman dulu kurang modern. Melainkan ke-modern-nan lah yang merubah perilaku pelakunya, mau tak mau, sebab bila tak mau akan dianggap ndeso, dan bila mengikutinya, ia dianggap sebagai golongannya.
.
Aku ingat ketika itu…, adikku yang bernama Sri kerap kali dapat himbauan dari ibu ketika jam sudah menginjak waktu maghrib. Disuruhnya masuk Sri ke dalam, meskipun ia masih main bersama kawan-kawannya di luar sana. Tak ada permainan hingga larut malam, tak ada petak umpet saat malam. Permainan yang ada hanyalah permainan ketika matahari masih terlihat.
Bukan hanya Sri saja yang masuk ke dalam rumah. Dua ekor ayam peliharaan bersama empat anaknya dimasukkan pula ke kandang oleh ibu. Katanya, “Ayam akan mengalami sakit rabun senja ketika sore untuk sementara. Oleh sebab itu dimasukkan ke dalam dengan bantuan.”

-Bersambung-

0 komentar:

Posting Komentar