Sabtu, 24 Juni 2017 | By: Unknown

Ukhuwah di Ujung Hayat



(Oleh: Andrew A. Navara & Diis Yosri)


Aku ingat betul ketika ibu harus meniggalkan rumah, mengajakku bersama Laudya.Waktu itu terjadi perdebatan yang hebat di dalam kamar mereka. Tangis ibu pecah di dalam sana. Sedangkan bapakmenjatuhkan guci hingga menjadi berkeping-keping. Selepas menjatuhkan guci, bapak mendadak hening dan langsung duduk di kursi. Aku melihat bapak termenung dan tak mendegarkan tangis pecah ibu yang begitu keras.
Dalam diamnya, aku melihat bapak lebih memilih acuh terhadap tangisan ibu dan memilih mengisap sebatang rokok miliknya.
Kamis, 08 Juni 2017 | By: Unknown

Negeri 1980 - Part 6


(Oleh: Andrew A. Navara)

Listrik di zaman dulu sangat minim. Belajar pun dengan menggunakan cahaya yang sangat minim. Lampu ublik (lampu dinding) begitulah kami orang Jawa menyebutnya. Lampu yang berbahan bakar minyak tanah dan sumbu yang ada di ujungnya sebagai pencahayaannya. Kalaupun tak ada lampu ublik, lilin pun akan jadi sebagai penggantinya.
Perjuangan yang amat sangat, terlebih berada di dalam pelosok waktu itu. Membaca kadang tak jelas dengan pencahayaan minim. Mata terkadang juga sakit. Bahkan beberapa temanku pun ada yang sampai membaca bukunya dengan mendekatkan matanya yang amat sangat dekat meskipun saat pagi dan siang.
Kamis, 01 Juni 2017 | By: Unknown

Pubertas



(Oleh: Andrew A. Navara & Dannsaurus )


Merah ranum bibirnya sedari tadi kuperhatikan. Gaya pakaiannya pun juga kulihat setiap jengkalnya. Mataku tak hentinya melihat, sampai aku lupa bagaimana caranya mengedipkan mata. Cara jalannya pun berbeda. Lebih anggun dan tak sembrono seperti saat ia masih duduk di bangku SMP dulu. Mungkin saja dia telah sadar bahwa dirinya sekarang adalah perempuan yang telah sepantasnya menjaga penampilan.
Perempuan itu sekarang sedang duduk tak jauh dari hadapanku. Di kantin inilah dia dan teman-temannya membentuk perkumpulan semacam geng. Tampaknya mereka sedang berbincang santai bersama teman-tamannya sembari menyantap semangkuk bakso yang sudah menjadi kesukannya. Bibirnya sangat terlihat sensual saat dia melahap bakso pesanannya. Sesekali ia menyeruput es teh yang selalu menjadi pendamping baksonya. Beberapa kali ia tampak mengusap mukanya yang telah basah oleh keringat akibat sambal yang terlalu banyak dia tambahkan. Aku menebaknya begitu, sebab hanya kuah bakso miliknya saja yang berwarna orange, warna yang berbeda dari perempuan di sampingnya itu.