Kamis, 01 Juni 2017 | By: Unknown

Pubertas



(Oleh: Andrew A. Navara & Dannsaurus )


Merah ranum bibirnya sedari tadi kuperhatikan. Gaya pakaiannya pun juga kulihat setiap jengkalnya. Mataku tak hentinya melihat, sampai aku lupa bagaimana caranya mengedipkan mata. Cara jalannya pun berbeda. Lebih anggun dan tak sembrono seperti saat ia masih duduk di bangku SMP dulu. Mungkin saja dia telah sadar bahwa dirinya sekarang adalah perempuan yang telah sepantasnya menjaga penampilan.
Perempuan itu sekarang sedang duduk tak jauh dari hadapanku. Di kantin inilah dia dan teman-temannya membentuk perkumpulan semacam geng. Tampaknya mereka sedang berbincang santai bersama teman-tamannya sembari menyantap semangkuk bakso yang sudah menjadi kesukannya. Bibirnya sangat terlihat sensual saat dia melahap bakso pesanannya. Sesekali ia menyeruput es teh yang selalu menjadi pendamping baksonya. Beberapa kali ia tampak mengusap mukanya yang telah basah oleh keringat akibat sambal yang terlalu banyak dia tambahkan. Aku menebaknya begitu, sebab hanya kuah bakso miliknya saja yang berwarna orange, warna yang berbeda dari perempuan di sampingnya itu.
Bibirnya semakin merekah merah saja dari sebelumnya. Aduhai rasanya.. Aku tak tahu, mengapa pikiranku semakin liar saja akhir-akhir ini.. Ataukah ini tanda bahwa diriku telah masa pubertas, hingga melihat wanita yang sudah ‘berbentuk’ pun sampai seperti ini?  Terlebih si Marlina, dia lebih menarik jika dibandingkan temannya yang lain. Aku tak mau berpikir terlalu jauh. Karena memang aku tidak tahu apa-apa saja tentang si puber yang tiba-tiba bertamu ke otakku ini. Ya.. si puber. Aku menyebutnya demikian.

***

Semalaman tadi aku mencari informasi tentang pubertas di internet. Tapi ada satu hal yang membuatku bingung. Yaitu mimpi basah. Mengapa semua itu terjadi begitu saja? Kira-kira seperti bagaimana ya rasanya? Mengapa harus terjadi mimpi basah? Aku memang tak tahu apa-apa. Karena memang aku belum pernah mengalami mimpi basah. Bahkan diusiaku yang sekarang ini telah menginjak ke 16 tahun.

***

Dulu kupikir mimpi basah adalah kejadian yang sama halnya dengan mengompol. Anggapanku itu sempat membuatku ditertawakan oleh salah seorang temanku yang memang sudah mengalaminya berkali-kali. Sedang aku? Aku belum pernah sama sekali hingga detik ini! Apa ada yang salah denganku?
Dua hari aku terus mencarinya tentang mimpi basah itu. Entah kenapa hal itu menjadi sangat penting untukku. Akhirnya aku menemukannya di salah satu website yang membahas tentang mimpi basah.
Seketika aku bergidik. Ini benar-benar di luar nalarku, sebab akan ada cairan berbau menyangat yang mengucur dari kemaluan dengan sendirinya tanpa kendali si empunya yang sedang terlelap. Kalau ini yang dipelajari, maka biologi akan menjadi pelajaran yang paling aku sukai, dan bisa saja ini akan menjadi mesum dengan cara yang benar. Konyol memang. Tapi ini benar-benar menggelitik pikiranku.

***

Sekarang bukan lagi tentang Marlina yang kulihat di kantin saat bersama temannya itu. Tapi tentang Rumi. Perempuan berambut lurus tebal dan bergelombang di ujungnya. Rambut yang tak pernah kusam, selalu mengembang dan berwarna agak coklat.
Kabarnya rambut indah miliknya itu adalah warisan dari sang ayah yang berasal dari negeri jauh.  Bibir kecilnya, merekah, dan agak basah, tak pecah-pecah seperti bibir Siti yang duduk di belakangku. Mungkin dia mengolesinya dengan lipsglose. Bukan dengan minyak goreng seperti yang pernah dipakai Anti, teman sekolah dasarku ketika kelas 6. Dia melakukan itu karena ia ingin terlihat mengkilat, basah, tak kering. Iya... mengkilat dan selalu basah seperti para model yang mejeng di sampul-sampul depan tabloid yang selalu dilihatnya sepulang sekolah. Sebab tak jauh dari arah jalan pulangnya terdapat toko majalah yang digantungkan di tali layaknya pakaian yang sedang dijemur.

***

"Aris. Boleh pinjam penghapusnya nggak?” Aku terdiam sambil menelan ludah.
“Pake saja kalo memang perlu." Jawabku dengan nada datar seakan tak ada sesuatu yang terjadi pada diriku. Padahal dalam sebenarnya gejolak hatiku seperti ada pentas dangdut yang selalu ricuh sewaktu-waktu oleh para penonton yang rata-rata berhelm.
Tapi kalau hilang kutuntut kepengadilan kamu ya.” Kupaksakan untuk melontarkan candaan yang sebenarnya aku takut kalau garing, karena memang aku tak pandai membuat candaan yang terkesan alami. Siapa tahu dengan candaan itu ia memberikan respon yang positif. Rumi kemudian tersenyum. Dan senyumnya itu adalah senyum yang lebih indah dari yang aku bayangkan. Aku tidak akan lupa dengan senyum indahnya yang memikat itu.
"Gampang. Jangankan penghapus sebiji, pabriknya sekalian aku kasih buat kamu.” Ia mengambil penghapus itu dan kembali duduk dengan membenarkan sedikit kerah bajunya. “Tumben  ngajak becanda, biasanya juga diam sepanjang hari kayak patung kucing di toko cina." Lanjutnya, sembari ia melemparkan senyumnya lagi yang membuatku mabuk kepayang. Meleleh aku dibuatnya dan sepertinya aku akan segera melayang ke awan seperti iklan televisi.
"Kenapa sih? Aneh deh. Emang semalaman habis mimpi basah ya?" Lanjutnya lagi dengan senyumannya yang menggoda itu. Ahh…. Senyum itu lagi... Ditambah dengan jemarinya yang mengacak-acak rambutku.
Ya Tuhan! Bukan saja pertanyaannya atau pun senyumannya itu yang bisa membuatku serasa ingin meledak, tapi tangannya pun juga yang mengacak-acak rambutku membuat diriku salah tingkah tak karuan.
Tuhan, untuk kali ini saja biarkan aku khilaf. Aku ingin sekali membawanya pulang dan kemudian menelanjanginya. Lalu tak akan kubiarkan sejengkal pun bagian dari tubuhnya yang akan kulewatkan. Dan hari tak akan ada habisnya jika aku berdua saja dengannya tanpa batasan.
Sial! Imajinasiku menjadi liar seketika. Segala rupa lekuk tubuhnya tergambar dengan jelas. Bahkan aku sepertinya akan mengabadikannya dalam cerita picisan.

***

Malam ini aku membaca novel yang kubeli sepulang sekolah tadi. Ceritanya cukup vulgar dengan penjabaran adegan sangat jelas. Aku berhenti membaca karena mataku tak kuat lagi. Rasanya sudah lelah sekali mataku terjaga. Aku rebahkan badanku di kasur. Kugeletakkan begitu saja novelnya disampingku. Malas sekali aku mengembalikannya lagi. Mata sepertinya sudah ingin terburu-buru terpejam. Lampu kamar kubiarkan menyala. Suara hewan malam juga masih akan setia menemani tubuh-tubuh yang telah tertidur.
Perempuan yang dalam cerita itu muncul dihadapanku. Sepertinya dia menyusul ke kamarku dengan tujuan entah apa. Ketakutan sekali aku dibuatnya. Bukan takut dicekik atau tindak kriminal lainnya, tapi apa yang dia lakukan saat ini adalah bagian dari perilaku yang masih tabu untukku. Perempuan itu melepas bajunya satu-persatu dan tampaklah semua bagian tubuhnya yang tak tertutup sehelai benang pun. Perlahan menghampiriku dan mendekatkan wajahnya kewajahku. Bibirku seperti mau ditelan saja olehnya. Dia lalu berdiri di depanku sembari membuka pahanya lebar-lebar. Telihat jelas bagaimana bentuk wanita itu hingga bagian yang biasanya paling tertutup.
Payudaranya yang sedari tadi mengendur pun, kini telah mengencang pula. Benarlah yang dikatakan novel yang aku baca tadi. Bahwa manakala wanita yang birahinya telah memuncak, maka payudaranya akan mengencang layaknya saat perawan.
Dia kembali mendekatkan wajahnya kewajahku. Dengan cepat ia kemudian mendekapku erat sekali. Lalu ia melumat bibirku…, sepertinya ia sudah sangat hafal betul apa-apa yang akan dilakukan setelahnya. Aku hanya diam saja merasakan hal aneh yang dia lakukan padaku saat ini. Aku benar-benar seperti anak perawan nan polos yang tak tahu apa-apa. Tetapi ada hal aneh yang merajaiku saat ini. Sepertinya ada sengatan listrik yang sedang aku rasakan. Badan dan alat vitalku seketika itu menegang penuh tak terkendali. Aku seperti sedang menahan kencing.
Tiba-tiba aku terbangun saat aku seperti sedang melepas peluru dari alat vitalku. Mimpi itu terlihat sangat nyata. Sepertinya perempuan itu paham betul bagaimana memperlakukan lelaki secara teliti. Padahal baru saja aku berani membuka mata sambil kulihat dia meringis dengan tatapan mata nakalnya yang tajam. Ah… Mengapa itu terjadi begitu cepat dan saat aku menikmatinya mengapa ia hilang begitu saja... Kataku yang sedikit kesal sebab aku tak berhasil memperlakukan dia seperti halnya dia memperlakukanku. Sepertinya dia tak mengijinkan jika aku yang memegang kendali dalam permainannya tadi, Padahal aku sudah berani menatap wajahnya yang tersenyum nakal itu dan aku juga siap jika akan terjadi hal yang luar biasa.
Sekarang aku menaggung akibatnya. Celanaku rupanya sesak oleh kemaluanku yang telah menegang entah sejak kapan. Terasa agak sakit karena mungkin telah mengeras sejak aku mulai tertidur. Ulah wanita itu benar-benar membuatku kepayahan saat ini. Bagaimana tidak. Tak hanya kemaluanku saja yang sakit karena tegang, tapi juga celanaku yang basah oleh cairan yang sampai membuatku terkejut. Apa ini? Cairan ini seperti lendir, baunya menyengat dan agak anyir. Aku yang melihatnya mirip seperti telur katak yang biasa kulihat di sawah. Jijik sekali aku melihatnya. Segera aku beranjak dari tempat tidurku dan melepas celanaku dengan celana yang baru, padahal nafasku masih belum juga stabil.
Lalu aku berjalan ke dapur untuk mencari minum dan menenangkan diri. Aku masih bingung dengan mimpiku tadi. Kejadian itu seperti nyata saja. Sepertinya aku telah bisa disebut sebagai lelaki dewasa. Sejuknya air minum ini cukup membuatku lebih tenang. Aku tak akan melupakan mimpi mesumku yang pertama ini. Aku ingin mengulanginya lagi nanti. Malam selanjutnya atau kapan pun itu, sebab sepertinya itu sangat menyenangkan.

***

Dua pekan sudah berlalu sejak mimpi basah pertamaku itu. Aku mulai sedikit lebih tenang karena mimpi basah itu sepertinya telah menjadi candu. Sekarang aku memanggap diriku sepenuhnya telah dewasa. Kurasa aku tak perlu canggung lagi kalau nanti bertemu dengan Rumi atau pun saat dia mengacak-acak rambutku. Sepertinya dia menyukai rambutku jika dibandingkan dengan si empunya rambut yang diacak-acaknya ini. Tetapi tetap saja, ada hal yang aku tak berani. Adalah nyali untuk mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta kepadanya. Rasanya berat sekali. Aku takut kalau dia tahu lalu sikapnya akan berubah terhadapku karena dia selama ini dia hanya menganggapku sebagai teman saja, tak lebih dari itu.
Cinta memang tak mengenakkan sekali jika tersimpan tanpa diketahui oleh orang yang dicintainya. Cinta itu sulit membuat orang tertidur, dan selalu terbayang-bayang akan wajahnya dalam imajinasi yang diciptakan. Dan tersenyum sendiri seakan-akan khayalannya adalah kenyataan yang indah. Cinta itu kukira semudah seperti saat Feri, teman SMP ku dulu yang pandai sekali merayu perempuan dan langsung dengan cepat perempuan jatuh ke dalam pelukannya tanpa menunggu esok atau lusa. Nyatanya tak sepenuhnya seperti itu. Entah Feri yang pintar atau aku yang memang bodoh.

***

Pintu gerbang kuperhatikan sedari tadi. Ini sudah pukul 06.20, bertanda bahwa 10 menit kelas akan dimulai. Namun tak kulihat Rumi datang ke sekolah yang biasanya datang lebih awal. Aku menjadi gelisah rasanya. Khawatir kalau terjadi kecelakaan dengan mobilnya atau terjadi hal lain yang tak diinginkan. Aku segera beranjak menuju kelas dengan perasaan yang tak karuan. Aku masih berharap kalau Rumi akan datang hari ini, walau terlambat.
Aku melamun di tempat dudukku. Entah mengapa aku berubah menjadi sosok yang berlebihan seperti ini? Bukankah besok juga masih ada hari? Rumi pasti akan ke sekolah esok hari. Dan dia akan kembali mengacak-acak rambutku dan sejenak merebahkan kepalanya di pundakku sambil melingkarkan tangannya ke punggangku. Itu adalah kebiasaan yang Rumi lakukan beberapa hari terakhir ini. Tak heran jika beberapa orang menganggap kami pacaran. Aku hanya tersenyum geli sambil mengatakan bahwa kami hanya teman saja, walau pun sebenarnya dalam hati aku senang jika aku dan Rumi menjadi sepasang kekasih.
Tapi kabar yang aku dapat hari ini adalah Rumi benar-benar tak ke sekolah. Aku menduganya hari ini Rumi sakit karena kemarin sepulang sekolah dia sempat muntah sedikit di tempat parkir. Aku melihatnya dari kejauhan sebab dia dengan geng gaulnya yang tak sedikit. Geng yang menurutku adalah sekumpulan anak orang berduit. Kalau sedang dengan mereka, Rumi hanya melirik sebentar lalu memalingkan mukanya. Aku memang agak sakit hati dengan caranya memandangku seperti itu. Tapi entah mengapa sakit hatiku hilang begitu saja ketika Rumi duduk di sampingku saat di dalam kelas. Hatiku terasa segar dan bahagia seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya.
Aku ingin datang ke rumah Rumi untuk menjenguk atau pun sekedar basa-basi. Mungkin ini adalah momen yang tepat untuk mengatakan bahwa aku jatuh cinta padanya. Walau sepertinya akan sulit karena aku bukan tipe orang yang bisa bicara secara gamblang atau pun terbuka. Apa lagi tentang rasa suka yang kubiarkan diam begitu lama. Pernah aku membayangkan jika hidup layaknya Don Juan yang dengan mudahnya menaklukkan wanita hanya dengan sekali kedipan mata. Atau pun seperti James Bond yang tampak maskulin.
Tapi harus kuakui kalau aku memang tak berani. Sepertinya ada banyak hal yang mengganggu pikiranku. Salah satunya adalah jika cintaku bertepuk sebelah tangan. Bahkan hanya sekedar untuk menyapanya pun berat sekali. Membayangkan dia tersenyum padaku saja bisa pingsan aku dibuatnya. Keringat sudah berkeliaran disekujur badan hanya karena membayangkan apa-apa yang akan aku katakan padanya nanti. Aku akan beralasan apa jika nanti aku bertemu orang tuanya yang pasti akan bertanya banyak hal. Aku jadi serasa calon menantu yang harus menjelaskan bibit bebet bobot pada sang calon mertua. Apalagi aku berencana akan membawa bunga. Jelas saja tidak mungkin hanya sebatas teman jika kedatangannya membawa bunga. Orang tuanya pun pernah muda. Pasti akan panjang urusannya nanti.
Ah sudahlah. Yang penting aku datang saja dulu. Apa pun yang terjadi nanti biarkan saja terjadi. Sementara ini aku menulis kata yang mungkin saja berguna untuk kuberikan padanya nanti. Mungkin kata cinta yang berbunga-bunga. Atau kalimat datar yang akan kubiarkan saja dia menebak apa maksudnya. Tapi kurasa beberapa lembar kertas tak cukup menggambarkan apa saja yang aku rasakan  padanya. Sepertinya banyak yang harus aku ungkapkan dalam kertas ini. Tentang awal aku jatuh cinta padanya, apa yang aku rasakan setiap hari bersamanya hingga impianku dengannya di masa depan.
Aku gemetaran sekali, seperti sedang demam saja. Ya Tuhan, aku ini kenapa? Gembira, Gelisah atau apa? Tetapi jujur saja. Aku masih ragu apakah aku akan datang ke rumahnya atau mengirimkannya saja lewat kurir? Aku benar-benar tak punya keberanian untuk itu. Membayangkan saja aku sudah lemas dan semakin tidak yakin pada niatku. Walau di sisi lain aku sangat bersemangat menghadapi cinta pertamaku itu.
Sekolah hari ini berakhir lebih cepat. Guru yang seharusnya mengajar dipelajaran terakhir tidak datang. Entah alasan apa pak guru itu tak mengajar hari ini. Tapi masa bodohlah apa pun alasannya, memang aku senang jika pelajaran berakhir lebih cepat. Pusing rasanya jika lama berada di sekolah. Jarum jam sepertinya tak bergerak sama sekali.
Aku langsung meninggalkan kelas dan segera menuju toko bunga. Bahkan aku tidak langsung pulang ke rumah lebih dulu. Setibanya di toko bunga aku memilih bunga mawar putih saja. Sebab sepertinya dia sangat suka warna itu. Kuku yang pada dasarnya berwarna putih pun dicatnya kembali dengan warna itu. Kadang malah menggunakan tipe-x. Bukunya pun bersih dengan tulisan yang rapih. Sepertinya tak akan dibiarkannya warna lain ikut campur di sana kecuali warna tinta. Dia sangat teliti terhadap warna putih. Jadinya aku mengurungkan niat untuk membeli buah. Selain karena harganya yang mahal, juga karena uang yang tersisa di kantongku telah menipis. Bahkan sepertinya aku jalan kaki saja sepulangnya dari rumah Rumi nanti. Jarak antara rumahku dengan rumah Rumi memang cukup jauh. Aku tahu rumahnya secara tidak sengaja. Saat itu lebaran idul fitri, aku mengantar kue buatan ibu yang dipesan oleh tetangga Rumi. Saat itulah aku melihat Rumi sedang dipeluk ayahnya di teras depan rumah. Mereka sepertinya sangat akrab. Hal yang sepertinya jarang sekali terjadi. Bahkan antara bapakku dengan anak-anaknya. Kami bicara sekedarnya dan seperlunya saja. Bahkan bisa beberapa hari kami tidak saling bicara. Bukan sedang berselisih paham, tapi memang begitulah kami hidup yang seolah tidak ada cinta dalam keluarga.
Aku langsung buru-buru menuju rumahnya yang cukup menyita waktu untuk sampai. Sembari berjalan aku menduga-duga siapa yang akan kutemui pertama kali dan apa yang akan aku katakan padanya. Badanku semakin bergetar membayangkan kebahagiaan yang sepertinya akan menyambutku. Setelah sekian lama kubiarkan saja terpendam dalam hati. Serasa adegan film India yang menari di taman bunga, begitulah aku membayangkan apa yang akan terjadi padaku nanti. Konyol sekali rasanya. Seperti orang gila aku tersenyum sendiri di sepanjang jalan karena mengilustrasikan diriku layaknya aktor Bollywood yang sedang menari dengan dikelilingi wanita bergemerincing.

***

Sampai juga aku di rumahnya. Padahal aku hampir saja membatalkannya tadi. Ternyata di rumahnya ramai sekali seperti ada hajatan. Kutanyakan pada seorang lelaki yang sedang berdiri tak jauh dari pintu pagar yang tak tertutup rapat. Mungkin saja dia tahu sedang ada apa di rumah Rumi. Tapi tak mungkin ada musibah. Karena jika ada musibah yang menimpa keluarga salah satu murid pasti akan diumumkan di sekolah. Dan pasti aka nada tanda silang berwarna merah disekitaran rumahnya itu, tetapi nyatanya tidak ada tanda apapun itu.
Kutemui seorang lelaki paruh baya yang berdiri dekat pagar rumah Rumi, lelaki itu mengatakan kalau akan ada pesta pernikahan. Aku jadi bingung. Padahal sepengetahuanku Rumi adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dan kedua kakaknya telah berkeluarga. Bapak tersebut juga mengatakan kalau si anak bungsu dari keluarga yang tengah terlihat sibuk itulah yang akan menikah besok.
"Rumi?.” Kataku seketika.
Lelaki berkaos biru itu juga mengatakan kalau Rumi menikah karena telah hamil beberapa bulan. Deg! Siapa yang merusak Rumi-ku. Siapa lelaki yang telah merusak takdirku bersamanya. Wajahku seketika memanas. Seperti ingin marah, menangis dan juga seperti hendak marah.
“Rumi nikah sama siapa pak?”
“Kalau nggak salah sih, namanya Aga. Calon mempelainya itu.” Jawab si bapak kemudian yang sambil memastikan nama Aga tercetak dalam kertas undangan yang berwarna putih dengan kombinasi warna abu-abu.
Aku hanya tersenyum kecut mendengar penjelasan singkat itu. Singkat memang, tapi sudah menjelaskan semuanya. Nyatanya laki-laki itu adalah Aga. Dia memang biasa dipanggil begitu. Dia teman sekelas Marlina, perempuan yang membuatku mabuk kepayang.
Kupikir Aga tak mengenal Rumi dengan baik, pun juga sebaliknya, sebab mereka selalu biasa saja jika berpapasan. Seolah tak ada hal lain yang terjadi kecuali hanya pertemanan biasa layaknya aku dengannya. Aku segera beranjak pergi meninggalkan rumah yang membuatku naik darah itu. Dadaku terasa sesak dan panas sekali. Ingin aku mengamuk. Aku pulang dengan perasaan tak tenang.
Aku mampir ke makam nenek. Bunga yang kubawa itu kuletakkan di makam nenek. Pemakaman umum memang tidak jauh dari tempat tinggal penduduk. Aku meletakkannya di atas pusaranya. Dengan bunga ini aku mengadu pada nenek tentang kisah cintaku yang agak tragis.
Aku marah sekali rasanya. Entah pada siapa. Apa harus marah pada Aga yang telah mengambilnya dariku? Apakah aku juga harus marah pada Rumi yang sepertinya mau diambil oleh Aga? Ataukah aku harus marah pada diriku sendir yang tak berani mengambil keputusan secepatnya? Sepertinya kami bertiga memang salah.

***

Satu hari tanpa Rumi di kelasku sekarang. Aku duduk sendiri, belum ada teman lain yang mengisi tempat duduk Rumi yang biasa duduk tepat di sampingku. Sedikit sepi dan agak muak jika membayangkan wajah Rumi. Tapi aku juga rindu dengan segala tingkah lakunya yang kadang sableng.
Ah Rumi-ku.
Aku memang tak sempat memilikimu. Tapi setidaknya aku tak menjamahmu lebih cepat dari seharusnya. Walau aku juga ingin memilikimu seperti halnya Aga, tapi aku masih mampu menahan diri.
Kau dan Aga telah merusak impianku untuk memilikimu. Bahkan disaat aku baru saja akan memberanikan diri untuk menghampirimu. Ini benar-benar diluar dugaanku. Apa yang salah dengan kalian? Atau memang aku tak paham dengan pergaulan ala anak selevelmu yang memang tak bisa aku jangkau? Kalian sangat di atas. Berbanding terbalik denganku yang lusuh, kusam dan sangat di bawah.

***

Dua tahun sudah berjalan tanpa ada Rumi. Sialnnya kini ia pindah rumah, dekat tempatku tinggal. Itu membuatku kesal, sebab aku akan lebih sering berpapasan dengannya dan akan lebih susah untuk melupakan dirinya. Anaknya yang sudah berusia sekitar dua tahun itu pun aku tidak suka. Bagiku bertegur sapa sekedarnya sudah lebih dari cukup. Itu pun hanya basa-basi saja. Aku tak mau terlalu lama berbincang dengannya apa lagi dengan suaminya. Seperti kemarin sore, lelaki yang bernama Aga itu menyapaku dan kami bicara cukup lama. Membahas masa sekolah hingga kehidupan rumah tangganya. Dari perbincangan itu ia seperti sedang memberitahuku bahwa rumah tangganya tidak baik-baik saja. Ada selisih paham dan pertengkaran seperti orang tuaku dulu yang pernah hampir bercerai. Agak ngeri juga aku membayangkan jika mereka bercerai diusia Rumi yang bahkan belum 18 tahun
Bertepatan dengan itu semua, aku sudah tak lagi menjadi siswa yang mengenakan seragam putih abu-abu. Melainkan pakaian kemeja dan jeans seenaknya sendiri dengan masih tetap memakai sepatu. Tentunya dengan rambut yang sudah agak keren yang jauh berbeda ketika SMA. Kini aku menjadi seorang mahasiswa. Lama sekali aku menunggu masa seperti ini. Masa yang menurutku adalah masa yang hebat. Hebat karena karena tak perlu lagi menggunakan seragam. Dan rasanya semua mahasiswa akan memperlihatkan sisi rupawannya.
Termasuk perempuan yang duduk tak jauh didepanku dan itu sama persis seperti saat aku melihat Marlina di kantin dulu. Marlina yang saat itu berseragam putih abu-abu sangat membuatku mabuk kepayang. Dan Marlina pula yang membuatku rela jungkir balik mencari informasi tentang pubertas. Alhasil malamnya aku menjadi dewasa seperti yang seharusnya menurutku, setelah ditambah oleh pertanyaan Rumi yang sembari kali pertamanya yang mengacak-acak rambutku itu. Hal itu menjadi pengalaman yang tak akan pernah aku lupa. Walau hanya dalam mimpi, tapi masih sangat jelas sensasi apa yang kurasa ketika orgasme.
Sekarang pun begitu. Aku melihat perempuan yang duduk tak jauh dariku itu sambil sesekali menyeruput jus pesanannya. Kali ini perempuan itu sempat membuatku tak tahan, tak lebih saat kali pertama aku melihat Marlina. Hampir saja aku hilang kendali. Hal ini membuatku ragu, apakah sewaktu itu aku melihat Marlina itu benar-benar dengan sikap yang biasa-biasa saja sebagai laki-laki yang menyukai keelokan akan perempuan? Atau hanya sekedar nafsu saja?
Aku masih takut menyebut ini adalah cinta, sebab perasaan ini sama dengan kali pertamanya aku mencintai Rumi.
Aku akan lebih berani menyebut ini cinta adalah saat aku berani mengungkapkan perasaanku kepada perempuan yang aku sukai, bukan yang aku pendam saja dalam hati, bukan hanya aku saja yang merasakan itu cinta. Karena bila dipendam dan tak pernah tersampaikan itu bukanlah suatu cinta sebagaimana yang pernah aku sebut sebagai cinta diam-diam. Tapi kekaguman yang berbuah penyesalan. Diam memang emas, tapi tapi adakalanya diam adalah malapetaka.
Saat ini aku melihat perempuan itu dengan pertanyaan yang sama ketika aku menyukai Marlina, apakah aku menatap perempuan itu dengan benar yang biasa-biasa saja sebagai laki-laki yang menyukai keelokan perempuan? Ataukah hanya sekedar nafsu layaknya para penjahat kelamin?


-Selesai-



_______
Andrew A. Navara
Blog: andrewanavara.blogspot.com

Dannsaurus
Blog: dannsaurus.wordpress.com





0 komentar:

Posting Komentar