(Oleh: Andrew A. Navara)
Bukan…
ibu bukan sadis kepada anaknya dengan melakukan hal seperti itu kepada anaknya.
Melaikan dengan melalui cara itulah ibu bisa memasukkan jamu ke dalam anaknya
agar tidak anaknya tidak sakit.
Kadang
beliau berkata kepada tetangga sebelah saat Sri sakit. “Lebih baik aku yang
sakit mbak yuuu, ketimbang anakku yang kecil, Sri itu sakit.” Meskipun Sri
kecil yang dulu itu terkadang memukul-mukul ibu saat memaksanya untuk minum
jamu.
Ah…,
ibu. Kau lebih menahu mengenai anakmu bila dibandingkan dengan lelaki yang
telah menikahimu yang sudah puluhan tahun. Ya…, wajar kadang aku ingin
diperhatikan oleh seorang bapak.
Lelaki
yang tak lain bapak itu, hanya menyerahkan semua mengenai tentangku kepada ibu.
Percaya tak percaya…, awal mula kau bisa membaca, menulis, dan berhitung kepada
siapa terlebih dahulu mengajarkan akan hal itu, kalau bukan ibumu? Lalu bapakmu?
Bapak yang hanya menahu, apakah anaknya sudah diberikan haknya saja, apakah
anaknya sudah dapat berkembang dengan baik.., ya walaupun tidak berperan penuh
di sana.
Ibu…,
ia yang bekerja double menurutku. Bekerja untuk mencukupi perekonomian
keluarga…, dan juga masih bisa meluangkan waktunya untuk membantu anaknya
belajar. Sedangkan bapak…, bapak andil bekerja keras untuk menghidupi ketiga
anaknya. Aku.., Sri.., dan Pardi, baik makan, kebutuhan sehari-hari kami baik
biaya di dalam sekolah dan di luar sekolah.
Awalnya,
aku tak suka cara bapak seperti itu. Terlalu sibuk dengan kegiatannya dalam
menafkahi kami semua. Hingga tak pernah membelajari anaknya, seperti ibu. Pardi
pernah protes…, protesnya melalui aku. Lalu kubilang, “Bapak terlalu capek, Di.
Lihatlah.., urat-urat kakinya sudah banyak sekali.. kulitnya pun terbakar
matahari dan pulang lebih siang kalau dibandingkan dengan ibu.”
“Ibu
juga pulang siang. Kadang juga menyiapkan sarapan dahulu, lalu setelah itu
berangkat menjual tempe dengan berjalan kaki. Saat pulang kadang juga istirahat
sebentar, lalu setelahnya…, mengacak-acak kulit kedelai yang setelah direbus di
dalam kuali besar untuk dicampur dengan ragi dan dijadikan tempe. Lalu
malamnya, masih menyempatkan untuk bersama kami.” Pardi sedikit kesal ketika
itu.
Pardi
kerap saja membandingkan ibu dan bapak. Aku tak menyalahkan Pardi. Aku pun
kadang juga ingin merasakan apa yang ingin dirasakan Pardi. Ingin dibelajari
bapak juga pada saat menyelesaikan tugas sekolah, tidak hanya ibu saja.
.
Aku
berusaha meredam amarahnya…, “Di… nanti kamu akan menjadi lelaki dari wanita
dan juga bapak dari anak-anakmu. Kau akan tahu nanti, mengapa seorang bapak
kerap tidak bisa berbuat seperti ibu (baca: isterinya) kepada anak-anaknya.”
‘Semoga
kelak ketika kamu sudah dewasa dan beristri nanti, dapat memperlakukan
anak-anakmu bersama-sama dengan istrimu. Walaupun itu sangatlah sulit nantinya.
Sebab, laki-laki tidak akan bisa menjalankan peran wanitanya. Pun juga dengan
sebaliknya.’ Aku membatin.
Kau
tahu mengenai motor 2 tak? Kendaraan itu. Suaranya seperti mesin penggiling
padi yang ada di rumah Pak Masrul, meskipun tak sekeras mesin penggilingnya itu
bila keduanya disandingkan. Tak banyak model sewaktu. Bahkan asapnya sangat
banyak. Putih mengepul, seperti warna kabut asap yang pernah melanda negeri
dulu itu.
Kau
boleh saja, mengatakan, ‘Orang Kuno…, Ndesoo…, Nggak Modern…, Terlalu Berisik.’
Silahkan saja. Aku taka pa-apa. Mungkin orang terdahulumu pun juga tidak
apa-apa kepada apa yang kau buat candaan itu. Candaan yang terkadang buat kami
merasa tersindir, tanpa sepengetahuan kalian. Bukan membawa perasaan….
Melainkan ini mengenai perasaan. Tidak ada yang bisa mengerti perasaan orang
lain, terkecuali orang itu sendiri dan sang Pencipta.
Tentang
perasaan…, ada orang yang rela melakukan apapun demi cintanya. Ada orang
melakukan apapun untuk memenuhi nafsunya, bahkan ada pula yang membunuh orang
lain lantaran sudah di ubun-ubun diberikan kesempatan untuk menahan amarahnya,
tetapi kerap saja diperlakukan dengan tetap seperti demikian. Nyawa yang
hilang, sudahlah habis perkara. Si korban menjadi tersangka dan si tersangka
yang telah kehilangan nyawanya itu berubah menjadi korban. Keluarga korban yang
semula menjadi tersangka atas pesakitan yang tak tampak oleh kasat mata itu
menuntut hukum yang lebih parah, kalau perlu hukuman mati saja!!
Si
korban yang kini berganti menjadi tersangka atas perlakuannya itu, yang
dikarenakan sudah di ubun-ubun dan melakukan pembunuhan itu, hanya diam. Rasa
bersalah, jelas ada. Namun ada sedikit tidak keadilan. Bagaimana tidak?? Ia
sakit sejak lama akibat ulah seorang yang mati ditangannya, tidak mendapatkan
pembelaan di mata hukum, dikarenakan bukti yang tidak akan pernah ada. Sebab
luka yang didapatnya tak akan pernah terlihat oleh para penegak hukum. Yang
dapat melihatnya adalah mereka yang mempelajari ilmu psikologi.
Bagaimana
bila orang yang tersakiti dengan luka yang tidak kasat mata itu membunuh
dirinya sendiri? Apakah yang membuatnya sakit itu akan masuk ke dalam sel-sel
yang mengurungnya di sana?? Aku rasa tidak. Sebab tidak ada bukti jelas yang
terlihat nyata adanya.
Pemberi
sakit kerap mengatakan, “Ah, kau terlalu membawa perasaanmu. Aku tidak demikian”
Perkataan dari si pemberi sakit itu semacam perkataan untuk lari dari masalah,
bukannya ia tahu betul dengan karakter lawan bicaranya? Tidakkah bisa
memposisikan dengan lawan bicaranya bilamana berbicara. Ahh.. kurasa tidak
mungkin semua orang akan menjadi obyektif untuk memperlakukan orang lain, sebab
mereka kebanyakan dipengaruhi oleh tingkah subyektif.
Ya…,
memanglah demikian bilamana berdasarkan sudut pandang akan kesubyekifan, tanpa
menggunakan sedikit sudut pandang bagaimana bila ia menjadi orang tersebut
dengan semua yang dimiliki baik kekurangan yang jauh lebih kita tahu bila
dibandungkan dengan kelebihan yang kita tak tahu.
Tak
masalah kau menggunakan sudut pandangmu itu penuh dengan kesubyektifan, itu
jauh lebih baik, sebab bisa membantumu hingga ke tujuan, bisa membuatmu lebih
semangat dan percaya diri. Bagaimana tidak? Subyetif menurutku sesuatu
penilaian kepada diri sendiri, mengetahui diri kita sendiri bila dibandingkan
dengan orang lain.
Bukann…, bukan berarti demikian
sombong, lalu tak mendengarkan apa yang menjadi koreksi kita. Subyektif memang
perlu. Namun ada kalanya, subyektif digunakan sepenuhnya untuk menguatkan diri
sendiri, adakalanya juga ditanggalkan bila hal tersebut mengenai apa yang akan
kita lakukan ke orang lain. Sebab, orang lain belumlah tentu menjadi bisa
menjadi dirimu dan menjadi seperti yang kau mau. Begitu juga denganmu, kau tak
akan bisa menjadi sepertinya dan belum tentu juga mau bila orang lain tersebut
menginginkanmu seperti yang diharapkannya itu. Terutama mengenai hal negatif.
-Bersambung-
0 komentar:
Posting Komentar