Selasa, 30 Mei 2017 | By: Unknown

Negeri 1980 - Part 4

(Oleh: Andrew A. Navara)


Bukan… ibu bukan sadis kepada anaknya dengan melakukan hal seperti itu kepada anaknya. Melaikan dengan melalui cara itulah ibu bisa memasukkan jamu ke dalam anaknya agar tidak anaknya tidak sakit.
Kadang beliau berkata kepada tetangga sebelah saat Sri sakit. “Lebih baik aku yang sakit mbak yuuu, ketimbang anakku yang kecil, Sri itu sakit.” Meskipun Sri kecil yang dulu itu terkadang memukul-mukul ibu saat memaksanya untuk minum jamu.
Ah…, ibu. Kau lebih menahu mengenai anakmu bila dibandingkan dengan lelaki yang telah menikahimu yang sudah puluhan tahun. Ya…, wajar kadang aku ingin diperhatikan oleh seorang bapak.
Lelaki yang tak lain bapak itu, hanya menyerahkan semua mengenai tentangku kepada ibu. Percaya tak percaya…, awal mula kau bisa membaca, menulis, dan berhitung kepada siapa terlebih dahulu mengajarkan akan hal itu, kalau bukan ibumu? Lalu bapakmu? Bapak yang hanya menahu, apakah anaknya sudah diberikan haknya saja, apakah anaknya sudah dapat berkembang dengan baik.., ya walaupun tidak berperan penuh di sana.
Ibu…, ia yang bekerja double menurutku. Bekerja untuk mencukupi perekonomian keluarga…, dan juga masih bisa meluangkan waktunya untuk membantu anaknya belajar. Sedangkan bapak…, bapak andil bekerja keras untuk menghidupi ketiga anaknya. Aku.., Sri.., dan Pardi, baik makan, kebutuhan sehari-hari kami baik biaya di dalam sekolah dan di luar sekolah.
Awalnya, aku tak suka cara bapak seperti itu. Terlalu sibuk dengan kegiatannya dalam menafkahi kami semua. Hingga tak pernah membelajari anaknya, seperti ibu. Pardi pernah protes…, protesnya melalui aku. Lalu kubilang, “Bapak terlalu capek, Di. Lihatlah.., urat-urat kakinya sudah banyak sekali.. kulitnya pun terbakar matahari dan pulang lebih siang kalau dibandingkan dengan ibu.”
“Ibu juga pulang siang. Kadang juga menyiapkan sarapan dahulu, lalu setelah itu berangkat menjual tempe dengan berjalan kaki. Saat pulang kadang juga istirahat sebentar, lalu setelahnya…, mengacak-acak kulit kedelai yang setelah direbus di dalam kuali besar untuk dicampur dengan ragi dan dijadikan tempe. Lalu malamnya, masih menyempatkan untuk bersama kami.” Pardi sedikit kesal ketika itu.
Pardi kerap saja membandingkan ibu dan bapak. Aku tak menyalahkan Pardi. Aku pun kadang juga ingin merasakan apa yang ingin dirasakan Pardi. Ingin dibelajari bapak juga pada saat menyelesaikan tugas sekolah, tidak hanya ibu saja.
.
Aku berusaha meredam amarahnya…, “Di… nanti kamu akan menjadi lelaki dari wanita dan juga bapak dari anak-anakmu. Kau akan tahu nanti, mengapa seorang bapak kerap tidak bisa berbuat seperti ibu (baca: isterinya) kepada anak-anaknya.”
‘Semoga kelak ketika kamu sudah dewasa dan beristri nanti, dapat memperlakukan anak-anakmu bersama-sama dengan istrimu. Walaupun itu sangatlah sulit nantinya. Sebab, laki-laki tidak akan bisa menjalankan peran wanitanya. Pun juga dengan sebaliknya.’ Aku membatin.
Kau tahu mengenai motor 2 tak? Kendaraan itu. Suaranya seperti mesin penggiling padi yang ada di rumah Pak Masrul, meskipun tak sekeras mesin penggilingnya itu bila keduanya disandingkan. Tak banyak model sewaktu. Bahkan asapnya sangat banyak. Putih mengepul, seperti warna kabut asap yang pernah melanda negeri dulu itu.
Kau boleh saja, mengatakan, ‘Orang Kuno…, Ndesoo…, Nggak Modern…, Terlalu Berisik.’ Silahkan saja. Aku taka pa-apa. Mungkin orang terdahulumu pun juga tidak apa-apa kepada apa yang kau buat candaan itu. Candaan yang terkadang buat kami merasa tersindir, tanpa sepengetahuan kalian. Bukan membawa perasaan…. Melainkan ini mengenai perasaan. Tidak ada yang bisa mengerti perasaan orang lain, terkecuali orang itu sendiri dan sang Pencipta.
Tentang perasaan…, ada orang yang rela melakukan apapun demi cintanya. Ada orang melakukan apapun untuk memenuhi nafsunya, bahkan ada pula yang membunuh orang lain lantaran sudah di ubun-ubun diberikan kesempatan untuk menahan amarahnya, tetapi kerap saja diperlakukan dengan tetap seperti demikian. Nyawa yang hilang, sudahlah habis perkara. Si korban menjadi tersangka dan si tersangka yang telah kehilangan nyawanya itu berubah menjadi korban. Keluarga korban yang semula menjadi tersangka atas pesakitan yang tak tampak oleh kasat mata itu menuntut hukum yang lebih parah, kalau perlu hukuman mati saja!!
Si korban yang kini berganti menjadi tersangka atas perlakuannya itu, yang dikarenakan sudah di ubun-ubun dan melakukan pembunuhan itu, hanya diam. Rasa bersalah, jelas ada. Namun ada sedikit tidak keadilan. Bagaimana tidak?? Ia sakit sejak lama akibat ulah seorang yang mati ditangannya, tidak mendapatkan pembelaan di mata hukum, dikarenakan bukti yang tidak akan pernah ada. Sebab luka yang didapatnya tak akan pernah terlihat oleh para penegak hukum. Yang dapat melihatnya adalah mereka yang mempelajari ilmu psikologi.

Bagaimana bila orang yang tersakiti dengan luka yang tidak kasat mata itu membunuh dirinya sendiri? Apakah yang membuatnya sakit itu akan masuk ke dalam sel-sel yang mengurungnya di sana?? Aku rasa tidak. Sebab tidak ada bukti jelas yang terlihat nyata adanya.
Pemberi sakit kerap mengatakan, “Ah, kau terlalu membawa perasaanmu. Aku tidak demikian” Perkataan dari si pemberi sakit itu semacam perkataan untuk lari dari masalah, bukannya ia tahu betul dengan karakter lawan bicaranya? Tidakkah bisa memposisikan dengan lawan bicaranya bilamana berbicara. Ahh.. kurasa tidak mungkin semua orang akan menjadi obyektif untuk memperlakukan orang lain, sebab mereka kebanyakan dipengaruhi oleh tingkah subyektif.
Ya…, memanglah demikian bilamana berdasarkan sudut pandang akan kesubyekifan, tanpa menggunakan sedikit sudut pandang bagaimana bila ia menjadi orang tersebut dengan semua yang dimiliki baik kekurangan yang jauh lebih kita tahu bila dibandungkan dengan kelebihan yang kita tak tahu.
Tak masalah kau menggunakan sudut pandangmu itu penuh dengan kesubyektifan, itu jauh lebih baik, sebab bisa membantumu hingga ke tujuan, bisa membuatmu lebih semangat dan percaya diri. Bagaimana tidak? Subyetif menurutku sesuatu penilaian kepada diri sendiri, mengetahui diri kita sendiri bila dibandingkan dengan orang lain.
Bukann…, bukan berarti demikian sombong, lalu tak mendengarkan apa yang menjadi koreksi kita. Subyektif memang perlu. Namun ada kalanya, subyektif digunakan sepenuhnya untuk menguatkan diri sendiri, adakalanya juga ditanggalkan bila hal tersebut mengenai apa yang akan kita lakukan ke orang lain. Sebab, orang lain belumlah tentu menjadi bisa menjadi dirimu dan menjadi seperti yang kau mau. Begitu juga denganmu, kau tak akan bisa menjadi sepertinya dan belum tentu juga mau bila orang lain tersebut menginginkanmu seperti yang diharapkannya itu. Terutama mengenai hal negatif.

-Bersambung- 


0 komentar:

Posting Komentar