Rabu, 14 Desember 2016 | By: Unknown

Negeri 1980 - Part 2



Bila enggan menonton televisi. Banyak cara yang bisa dilakukan di zaman itu. Melalui siaran di radio. Radio selalu ada disetiap rumah, walapun tidak semuanya. Radio zaman dulu masih menggunakan bataery ukuran tanggung dan ada pula yang berukuran battery besar. Ahh.. sialnya…, sekarang tidak ada lagi ukuran battery tanggung. Bagaimana tidak sial? Aku memiliki jam dinding di rumah yang hanya bisa nyala bilamana diberi battery tanggung di dalamnya.
Radio pun yang kerap disiarkan tak lain adalah mengenai hal-hal pemberitaan yang menjadi konsumsi orang-orang terdahulu. Musiknya juga tak seramai seperti sekarang. Langgeng Jawa selalu mendominasi. Begitu juga dengan subuh, selalu ada ceramah-ceramah agama dari para ustadz.
Ada rasa penasaran saat mendengar suara-suara mereka yang ada di dalam radio itu. Bagimana mimik wajah mereka, bagaimana tingkah laku mereka saat bertanya dan menjawab pertanyaan, bagaimana wajah mereka.
Mengenai wajah. Aku penasaran. Apakah suara yang terdengar dengan tawa yang sumringah pun juga dengan keseriusan itu, apakah terurai jelas dan benar seperti mimik wajah mereka pada saat itu? Bukankah terkadang, saat wajah yang tak pernah tampak saat berbicara jauh tidak mengundang banyak tanya? Bila dibandingkan bertatap muka, yang mana bukan kata yang tak sama dengan mimik wajahnya saja yang ketika berbicara menjadi tanya, melainkan juga paras dan lekuk tubuhnya.

***

Ada hal menarik mengenai para petani di negeri saat itu. Para petani muda dan yang sudah berumur yang mengenakan sepeda kayuhnya yang pada bagian tunggangannya dibelakang itu diselipkan sebuah karung dan juga peralatan tani. Ada pula yang bergoncengan romantic, bersama perempuannya yang sama-sama pula mengenakan topi tani yang ukuran penampangnya sama lebarnya dan melingkar untuk menutupi mereka dari sengatan matahari ketika siang menjemput.
Romantis sekali pasangan keduanya itu. Sang perempuan mengaitkan tangannya ke pinggang laki-lakinya. Tak malu atas tatapan mata yang melihat mereka. Masa bodoh. Meskipun keduanya mengendarai sepeda kayuh. Bukan…, bukan masa bodoh sebenarnya. Sebab dahulu…, orang yang sudah mempunyai sepeda kayuh itu lebih dari cukup.
Ya…, negeri 1980 jauh lebih ramah pada lingkungan, terutama pada saat pagi hari masih terasa aroma segar udaranya yang sangat-sangat aku rindukan.
Aroma suasana pagi dengan hembusan angin yang membelai sediit rambutku, serta berbisik temtang sesuatu. Saat siang pun juga, tak terlalu panas hingga tak menyebabkan pusing kepala karena sengatan matahari yang terlalu panas seperti disaat ini. Kata orang, sekarang terjadi global warming.
Aku tak cukup tak tahu megenai global warming. Yang kutahu bagaimana aku memulai kembali membiasakan hidup seperti dulu bersama alam, bukan malah mencari berbagai macam teori kepada alam…, lalu diperdebatkan dari ujung hingga ujung negeri. Teralisasikah semuanya? Kurasa tidak. Sebab hanya salah satu yang merealisasikannya, tidak keduanya yang sama-sama bekerja sama untuk merealisasikannya. Bukankah dua lebih baik daripada satu? Mengenai tentang kebersamaan, bukankah satu tak akan menguatkanmu dan dua bukankah hal yang lebih baik.
Aku benar-benar rindu kepada Negeri 1980. Aku hanya bisa merindukannya, melalui ucapan, dan juga imajinasi. Tidak dengan berada di sana kembali. Aku tahu…, hal yang sudah dijalani saat tubuh masih kecil dulu tidak mungkin akan bisa didatangi dengan kondisi yang masih tetap sama…, tentunya ada perubahan yang cukup kecil tanpa kita sadari dan cukup besar yang kita berpura-pura tidak menyadarinya. Ya…, tidak dan berpura-pura menyadari yang sama halnya dengan memperdebatkan segala masalah tanpa ujung penyelesaian dengan komitmen keduanya untuk saling menjalankan kepada apa yang sudah disepakati bersama.

***

Demikianlah adanya. Sepeda kayuh masih sangat mendominasi di negeri itu, tidak seperti kendaraan bermotor.. Roda tiga yang bernama becak pun juga belum bermesin. Kaki-kaki para pengayuh becak begitu kuat, hingga otot kakinya mengeras dengan guratan otot yang ke sana-kemari. Bukan sekedar otor biasa seperti para binaragawan. Otot para pengayuh becak itu terselip otot yang menyebabkan sakit luar biasa bilamana rasa capai mendatangi mereka (yang dimaksud adalah varises pada kaki).
Kuat sekali para pengayuh itu saat membawa tumpangannya yang jaraknya pun sangat jauh. Tak main-main. Dua-tiga kilometer pun bisa ditempuhnya, walaupun hingga menimbulkan keringat yang diimbangi oleh napas yang tak beraturan.
Bukan becak saja sebagai alat untuk mengangkut barang. Dokar pun juga kadang. Bahkan sampai sapi yang berjumlah satu dan kadang dua pun kuat menarik beban yang luar biasaaa..., beratnya, hingga barang yang diangkutnya itu terlihat tinggi.
Kamu salah, bila mengira pengemudinya duduk sejajar dengan sapi, atau di atas barang-barang yang diangkutnya. Hmmm.. Tak mungkin bila pengemudi di atas barang yang diangkutnya itu, sebab barang yang diangkut itu lebih tinggi dan lebih berat dari sapi yang berjumlah dua itu. Pengemudi itu duduk di suatu teempat yang dibuatnya sendiri, di belakang sapi. Namun tidak sejajar. Agak rendah sedikit.
Lebih pelan langkah sapi itu ketika menarik beban, tidak seperti kuda.... Ada yang unik mengenai sapi yang berjumlah satu dan kadang dua itu. Mereka selalu mengenakan kalungnya yang berbunyi nyaring yang akan membuat orang lain mudah mengenalinya saat melewati depan rumah atau gang... dan suara barang yang di bawanya itu menggesek jalanan, seakan menghapus jejak kaki kedua sapi itu.

***

Tunggu. Mengenai sepeda kayuh. Aku ingat bapak. Beliau kuat sekali mengayuhnya. Bisa sampai jauh-jauh sekali dan itu dilakukan setiap hari saat berhenti dari penggilingan padi dan mulai menjual tempe.
Ibuku juga..., beliau kuat sekali jalan kaki menjajahkan tempenya ke pasar yang jaraknya juga sama jauh dari jarak bapak menjajahkan dagangannya tersebut.
Orang terdahulu, daya tahan mereka begitu kuat. Entahlah mengapa.... Apakah dari pola makan mereka? Pola makan yang sangat jaih dari yang namanya bumbu penyedap dan berkadaluarsa, bahkan yang bukan dari siap saji. Apakah pola meempertahankan budaya-budaya terdahulu yang terlalu kuat? Yang kini sudah mulai runtuh yang aku tak tahu juga, apa alasan runruhnya/mengikisnya budaya tersebut. Entahlah..
Sepeda kayuh bapak, masih ada di belakang rumahku kini, meskipun ayah kini sudah meninggalkan namanya saja. Sepeda kebo. Ya.. begitulah negeri 1980 yang ada di pulau jawa bagian timur, menyebutnya sepeda kebo..., kadang ada juga menyebutnya sepeda jengki.
Kau tahu. Aku selalu mengeluh kalau aku dibonceng napak memggunakan sepeda itu. Karena tempat duduk bagian belakangnya itu sangat keras. Terasa sakit sekali bokongku bila roda-roda sepedaa kayuh bapak beradu sengan kerikil-kerikil kecil yang kadang pula dikendarai denfan sangat cepat, terlebih disaat hujan.
Tak kalah menarik dengan motor sepeda seperti itu. Terpasang pula lampu di depannya yang dihubungkan deengan dinamo yang mana kepala dinamo berputar mengikuti gerak roda bagian depan keemudian menimbulkan aliran listrik, dan menyalakan lampunya. Tidak otimatis menyalanya, dan bukan berarti kalau siang nyala.
Dinamo bisa disetel. Bilamana pagi atau siang, kepala dinamo dijauhkan dari bagian roda yang menghasilkan listrik yang keemudian menyalakan lampunya... dan ketika gelap, baru-lah..., kepala dinaamo itu didekatkan hingga menyentuh bagian dari roda yang membuat bagian kepala itu berputar karena menyentih bagian roda depan, kemudian menjadikan lampu menyala.
Motor pun di negeri itu, bukan seperti motor sekarang kebanyakannya. Mesin motor terdahulu masih menggunakan mesin dua tak. Kau tahu apa itu mesin dua tak? Aku rasa kau akan menertawakan bila kau mengetahuinya, terlebih kau yang baru terlahir di negeri yangvsudah tersedia berbagai macam teknolgi mutakhir yang diciptakan sesamanya. Mungkin kau akan bilang, ‘Orang Kuno…, Ndesoo…, Nggak Modern…, Terlalu Berisik.’ Memekakkan telinga. Bahkan asapnya akan mebuat orang naik darah, khususnya yang naik darah orang-orang di zaman seperti sekarang ini. Lihat.. sudah bisa kutebak... kau yang membaca pada bagian ini ada yang terkikik dan mengiyakan sambil berkata dalam hati, 'Jelas... itu sangat kuno dan jauh dari modern seperti sekarang ini. Beruntung aku bisa hidup di zaman seperti ini, sebab segalanya sudah modern dan memudahkanku dalam beraktifitas.
Mengenai beruntung atau tidak beruntung itu tergantung kepada individu masing-masing. Sebagaimana kepada hal mana yang bisa dibilang terbaik untukmu dan untukku yang kita sendiri tak menahu apa yaang kita anggap baik itu baik... apa yang kita anggap itu buruk, buruk pula kepada kita. Keburntungan adalah sama halnya dengan kebaikan yang kita terima dan kita tentukan, bukan?
Cara terbaik adalah 'menerima'. Menrutku tidak hanya 'menerima', melainkan juga 'mau menerima'. Menerima juga kurasa tak cukup bila yak diiringi oleh 'ikhlas lan legowo.'

-Bersambung-

.

0 komentar:

Posting Komentar