Aku suka rembulan yang tersenyum miring di pucuk terdekat
tiang menara masjid itu. Letaknya terlihat begitu dekat dari pucuk menara
berkilat cahaya dengan rembulan buatan yang tertancap sedang memangku bintang
dengan ukuran yang sama besarnya.
Tak
pernah bosan aku menatapnya. Senyum tipis yang dapat kulemparkan saat menatap
senyum miring rembulan.
Andai rembulan itu dapat mengucap sepatah kata aku ingin
bertanya kepadanya. Kemana ia pergi saat sang raja siang itu menggantikannya.
Apakah ia tertidur sejenak disuatu tempat? Ataukah ia menyelinap di dalam
lautan... pucuk bukit... ataaauu... perbatasan daratan dengan langit??
Ataukaaahh?? Ia sedang bertugas malam di belahan negara yang ketika itu malam?
Tapi
sayaaanngg..
Rembulan tak akan pernah berucap sepatah kata pun, meskipun
ia pernah tersenyum tipis manis dan menawan di setiap ia keluar muda sebagaimana
kata orang di rumah yang kerap menyebut bulan muda..., meskipun ia benderang
setiap tanggal lima belas berdasarkan pertanggalan jawa.
***
Kinan. Perempuan yang duduk di belakang motor skuter matic
yang baru saja dua bulan bersamaku. Ia diam saja tak banyak kata..., mungkin
cuma tetesan yang membasahi pipinya setiap kali ia mendongak ke atas melihat
rembulan itu. Dengan posisiku yang berubah, menjadikan setir motor sebagai
sandaran punggungku.
"Bagaimana kehidupan di sana?" Tunjuknya. Sedetik
sampai lima detik pandangannya mengitar. Berpaling dari rembulan. Melihat
gemerlap bintang.
"Ia tak pernah sendiri di sana, bukan?" Kinan
menggeleng pertanda tidak setuju, lalu mengatakan, "Kau melihatnya tak
begitu teliti! Coba kau perhatikan!!"
"Benar-kan?? Ia selalu bahagia di sana. Memiliki banyak
teman yang mengitarinya."
"Kau salah!!" Ahh.. perempuan itu begitu kritis.
Usahaku selalu gagal untuk menghiburnya.
"Kedekatan mereka sangatlah jauh. Tidak begitu dekat
seperti kita." Tunjuknya pada satu bintang yang terlihat sepuluh centi
lebih dekat dari bawah kami.
"Lalu bukankah mereka berdekatan satu sama lain?"
"Tidak. Aku tak setuju!! Ia berjauhan. Kalaupun ia
dekat. Apakah mereka berdua pernah menjabat tangan, atau bercumbu terlalu dekat
seperti ini?" Ia mendekatkan tubuhnya kepadaku dengan membenamkan matanya
yang kulihat menitikkan air. "Rembulan tak akan pernah bersatu memcumbu
satu sama lain jika mereka saling mencinta." Lanjutnya sembari memelukku
dengan sangat erat.
"Mengapa ia tak kita paksa saja untuk saling mencumbu
jika memang ia saling mencinta?" tanyaku kepadanya sesekali mendaratkan
kecupanku di keningnya.
"Lalu...?? Apakah kau berani memaksakan keadaan
kita??"
Aku tak yakin..
"Kau saja diam tak menjawab. Bagaimana niat kau yang
ingin memaksa rembulan itu? Kau mungkin tahu.." ia memberikan sedikit jeda
setelah ia mendengarkan napasku menghembus berat. Lalu ia melanjutkan,
"Kau tahu betul jika sesuatu yang dipaksakan akan membuahkan hasil yang
tak baik. Tapi apakah kau tahu?? Jika sesuatu keterpaksaan itu nantinya akan
melukai kita di masa yang akan datang? Bukankah keterpaksaan itu menuntut kita
mencobanya? Bukan menjauhinya? Apakah jaman kita masih sama dengan jaman Siti
Nurbaya? Apa kau rela aku menjadi milik lelaki lain yang meniduriku setiap
malam, lalu menggendong hasil cintanya kepadaku dan kau melihatnya?"
Ia menghapus air matanya dan merenggangkan pelukannya, "Maaf..."
sedikit ia tersenyum sambil melihatku. "Wanita yang rendah... menangis
memohon kepada lelakinya yang kutahu tak akan pernah bisa merebutku dari lelaki
yang dalam hitungan bulan akan menjadi suamiku. Ahh.." ia tersenyum lagi
sambil menahan sesunggukannya lagi, "bagaimana ia merebutku.
Mempertahankankan cintanya seperti janjinya terdahulu saja rasanyaaa sudah tak
ada."
Maaf aku tak bisa..., kataku di dalam benak.
Mempererat genggam tanganya,tak lagi tubuhnya. Seperti lima menit yang lalu.
***
Waktu tak terasa begitu cepat. Rasanya baru saja aku mengenal
Kinan kemarin. Dan begitu cepat ia akan menjadi milik lelaki lain. Aku memang
lelaki payah! Yang tak dapat mempertahankan cinta hanya karena restu salah satu
orang tua kami tak merestuinya. Ibu Kinan. Ya... ibu-Kinan tak setuju denganku.
Sebab aku memiliki kasta rendah darinya. Seorang buruh dengan gaji yang tak
menentu disetiap bulannya. Awalnya aku menyadari jika aku menjadi ibu-Kinan.
Tak rela jika anak wanitanya itu hidup sengsara dengan gajiku yang tak menentu.
Aku akan sependapat dengan ibu-Kinan, akan menyerahkan anaknya kepada lelaki
yang lebih baik,berpendidikan, terlebih berpangkat seperti Banyu. Lelaki tegap,
tinggi, putih, dan berpangkat mayor dengan seragam coklat polisi kebanggan
setiap wanita lainnya. Mungkin akan bisa menjamin kehidupan Kinan. Tak akan
pernah terlantarkan.., tergantungkan kebutuhan sehari-hari dengan modal gaji ya
g tak menentu. Bisa saja sekarang makan enak dan keesokan tak dapat memakan
makanan enak seperti kemarin. Atau... ketika ia memikiki anak dariku, ibunya
akan lebih khawatir aku tak mampu menafkahi anak kami. Bagaimana bisa.
Menafkahi satu orang saja terlihat sudah tak mampu. Bafaimana dengan menafkahi
dua atau tiga orang nantinya?? Logikaku menghancurkan kepercayaanku ketika aku
bersamanya terdahulu.
Aku merasakan ia tak yakin merangkulku ketika mengantarkan ia
pulang. Maju mundur membenarkan duduknya yang mulai tak nyaman. Terasa sekali
dari gerak motor yang semakin lama sedikit oleng ke kanan bahkan ke kiri juga.
Dibalik spion motor sedikit ku mencuri matanya yang sembab
tadi ketika motor akan mengambil arah kanan untuk mendahului motor camry. Kau
tahu..., sebenarnya aku tak ingin mendahului camry itu. Aku hanya ingin
memastikan ia tak menangis lagi. Dugaanku benar. Ia masih menangisi keputusanku
untuk tak mengikuti inginnya. Inginnya yang lari dari pernikahannya itu.
Kuperlambat motorku dengan mengambil lajur paling kiri. Lajur yang sangat lambat
sekali.
Kuraih tangan kanannya. Membimbing untuk mendekat
dipunggungku merangkulku seperti hari-hari kemarin. Namun tangan itu
memberikan perlawanan sembari tangan kirinya menghapus bekas air matanya.
Kucoba lagi untuk kedua... ketiga kalinya.. perlawanan itu semakin menjadi, dan
membuatku membiarkan saja sambik mendengus... mepercepat motorku seperti
kerasukan setan dan nyaris menabrak motor butut yang dikendari sepasang anak
muda yang berpenampilan kumal. Kinan masih saja menjaga jarak duduknya. Sepertinya
ia memberanikan diri karena kutahu ia tak pernah berani menumpangi kendaraan
dengan laju kencang seperti yang kukendarai saat ini.
***
-Bersambung-
Kebagian 2
2 komentar:
Lanjut bang Andrew. Perkaya juga diksinya. :)
Design blognya keren banget. Gemana buatnya? Ajarinlah. Ada huruf f sama t nya nggak pindah2 gitu gemana?
Posting Komentar