Selasa, 22 September 2015 | By: Unknown

Kambing Hitam



Aku terseyum melihatnya yang begitu pandai berkilah ketika aku berdiri disampingnya disaat ia duduk dengan seorang yang penting baginya, mungkin bagiku juga penting.
Melihat Geraknya.. aku nyaris tertawa, karena gerak itu bak kebakaran jenggot. Ia berusaha menutupi kesahannya yang sudah jelas TIDAK ADA LAGI YANG MENJADI KAMBING HITAM-nya saat itu!!
Bangsat memang!! Selalu mengambinghitamkan…!! Tak berlaku adil… Hanya karena orang lain tak menaruh harga diri kepadanya. Lucu memang. Menyuruh harga diri orang lain tunduk kepadanya, bukan menyuruh merendahkan hati menerima apa yang telah dialami.
Suara kecil di dalam hatiku berkata sendiri tanpa komando, tanpa kesadaran. Ia berkata di bawah alam sadarku.
“Sudahlah sabar.. sabar.. Tak perlu kau berontak menyerangnya, sebab kekuasaan besar ada padanya. Lucu menang .. kekuasaan tertinggi tak mau menerima kesalahan. Tak mau koreksi diri. Sebab dia yang memiliki kekuasaan. Ia lupa… bukankah serangan itu bisa dijadikan pembelajaran? Instropeksi?
Mengingatkanku akan kata Soe Hok Gie, “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.” Lupakan saja menjadi pemimpin yang tak tahan kritik oleh para anggotanya. Lupakan menjadi pemimpin yang tak mau menerima kesalahannya dan selalu menyalahkan orang lain dan juga hobi mencari kambing hitam, sebab melimpahkan kesalahan adalah hal terbaik untuk menghindari masalah. Tetapi ia lupa!! Hal terbaik adalah mengakui kesalah. Dan yang salah diberikan apresiasi, bukan hukuman yang membuat jera!! Bukan malah berkesempatan menurunkan harga dirinya!
Ahh, sudahlah.... Kau sabar saja. Apapun yang terjadi siaplah menerimanya. Menerima apapun itu. Bantah bilamana ia benar-benar menurunkan harga dirimu. Sebab Tuhan pun juga tak mengijinkan makhluknya diturunkan harga dirinya oleh sesama makhluknya. Atau mungkin doakan saja biar dia sadar, itu lebih baik jika dibandingkan dengan berontak.” suara seorang di dalam diriku.

- Andrew A. Navara -




0 komentar:

Posting Komentar