(Oleh: Andrew A. Navara)
Sidoarjo, 02 Desember 2013
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Tak terasa
waktu begitu cepat sekali. Baru saja seperti kemarin aku merasakan tahun baru
yang begitu ramai, dengan ledakan yang membisingkan telinga namun memberikan
warna yang indah di atas langit sana. Semuanya beradu suara dan beradu
menunjukkakn keelokan warnanya. Dan kini hampir sudah berada diujung akhir
tahun dua ribu tiga belas ini yang penuh dengan warna, suka dan begitu pun
dengan duka yang medalam.
Memang tak
seharusnya kita membenci akhir tahun, karena apa yang menjadi target kita belum
tergapai di tahun ini. Bukankah akhir tahun ini bisa menjadi evaluasi diri
untuk lebih baik melakukannya dan meraih sesuatu itu penuh semangat untuk di
tahun yang akan datang dalam hitungan minggu ini ??
Tahukah
kau, sahabat. Tahun dua ribu tiga belas ini, sangat berkesan sekali untukku.
Aku menemukan satu sahabat perempuan yang dipertemukan oleh sahabatku, yang
kini menjadi sahabat baiknya juga.
Aku
menyesali pertemuanku dengannya. Mengapa kita dipertemukan dalam waktu ini.
Tidak pada waktu silam puluhan tahun yang lalu. Ketika kami semuanya masih
memakai seragam putih-biru. Namun Aku tidak menyesali secara penuh, karena aku
masih diberi kesempatan bisa mengenalnya. Dan aku harap mengenalnya hingga
akhir waktuku kelak.
Aku salah
menafsirkan sifatnya ketika dulu. Ia perempuan yang begitu antusias ketika
menjelaskan sesuatu kepada temannya. Tidak hanya rangkaian kata-katanya yang
meyakinkan, tetapi juga dengan gerak tubuh dan matanya pun ikut berbicara
dengan apa yang ia rasakan dan ia berikan kepada temannya.
Mungkin ia
juga salah menafsirkan diriku, ketika itu. Yang enggan bertegur sapa, meskipun
kita bertemu dan saling menatap muka satu sama lain. Aku yang terlalu dingin
dengan sikapku. Tak terlalu banyak kata maupun bertegur karena tak ada bahan
yang penting untuk menjadi pembicaraan. Terlebih tidak suka sekali dengan
basa-basi ketika pertemuan dengan menatap wajah masing-masing.
Mengenalnya
dalam waktu begitu lama merobohkan tafsiranku itu kepadanya. Ia sangatlah
dewasa sekali dalam pemikirannya. Justru bisa dibilang ia paling dewasa jika
dibandingkan dengan aku dan sahabatku yang membertemukan kami. Walaupun ia
lebih muda satu tahun dari kami berdua. Tidak hanya itu. Dia juga menjadi guru
spiritual. Mungkin bisa lebih dari itu ketika aku bertemu dengannya. Banyak
cerita-cerita gila yang kita ceritakan dengan selingan canda, tawa, darinya.
Sahabat
yang begitu baik sekali. Ia meluangkan waktunya untuk mendengarkan segala
keluh, kesah dariku yang sangat membutuhkan dia. Mungkin bisa dibilang dia
menjadi teman sekaligus sahabat curahan hatiku. Begitupun juga denganku
tenunya, mengusahakan sebaik mungkin seperti dirinya, menjadi tempat curahan
hatinya.
Kerap ia
merasa sungkan denganku, dengan kalimatnya yang membuatku bosan sekali
mendengarkannya berkali-kali darinya setiap kali ia selesai bercerita. Meskipun
aku sudah menjelaskan aku tak akan pernah lelah dengan semua cerita yang ingin
dicertakannya kepadaku.
Maaf kalau aku semua ceritaku yang tidak penting ini
membuat telingamu lelah, cerita yang mungkin menjadi sampah, dan kau tempat
sampahku. Dan itulah kalimat yang sering ia keluarkan dulu. Tetapi tidak untuk saat
ini. Ketika aku mengatakan, tidak semua yang kau katakan itu sampah untukku. Sampah yang kau ucapkan itu suatu saat akan
membuahkan hasil yang lebih dari yang kau sangka. Dan aku juga akan memperlakukan sama dengan dirimu yang memperlakukanku
dengan penuh sabar dan keluan waktumu untuk mendengarkan sampahku juga bukan ?
Tahukah
engkau. Aku membenci satu tagline
yang kini menjadi kenyataan. Setiap
pertemuan akan berakhir dengan perpisahan. Ia pergi begitu jauh dari tempat
kami biasa bertukar cerita satu sama lain. Ia pergi untuk melakukan tugasnya
setelah ia lulus menjadi seorang sarjana pada umumnya. Ia pergi mencari sumber
penghidupannya untuk dirinya sendiri dan keluarganya kelak.
Memang
perpisahan ini tidak berarti putus dalam hubungan berkomunikasi dengannya dan
masih saja kita bisa bertukar kabar dan cerita melalui jejaring sosial. Tetapi
pertemuan dengan tatap muka dan secara online melalui jejaring sosial sangatlah
berbeda jauh rasanya bukan ?? Mungkin kau juga pernah merasakan apa yang
kurasakan saat ini dengan sahabatku itu.
Rangkaian
doa dan beberapa kalimat sederhana teruntuknya ingin kusampaikan kepadanya,
melalui udara.
Semoga dirimu di sana selalu dalam
lindungaNya. Tetaplah terus menjadi seorang perempuan yang aku kenal sebagai
sahabat sampai kapanpun.
Dan inginku ketika persahabatan ini
terpisahkan oleh dimensi lain, kelak kau selalu mengingatku. Kalaupun jika
memang aku yang pertama berada di dimensi lain itu, aku adalah orang yang
paling bersyukur karena dipertemukan oleh seorang sepertimu yang kukenal pada
kali pertamanya, selalu mengakhiri emosimu yang sesaat dengan kata indah yang
nyaman di dalam hati, ‘maafkan perbuatanku.’ Kata yang seakan kau yang salah,
walaupun sebenarnya aku yang salah.
Wa’alaikum salam Wr. Wb.
Salam teruntuk sahabatku, Nur
Fitriani
(Salah satu karya yang pernah saya ikutkan dalam satu event.
Namun belum beruntung ketika itu...)
0 komentar:
Posting Komentar