Minggu, 10 November 2013 | By: Unknown

Malaikat Cermin - Part 2 : Sekali dan Selamanya


(Oleh : Andrew A. Navara)

 Matanya terbelalak, dengan pakaian yang berantakan. Kulitnya memar, setelah terseret air yang membawanya ke sebuah muara yang begitu kotor yang penuh dengan sampah yang berbau busuk. Seketika kedua tangan mungilnya bergerak perlahan mengayuh menuju daratan. Perlahan dan dengan pasti akhirnya ia sampai, dengan nafas terengah-engah.
“Kasihan sekali kau. Untung tak tamat riwayatmu disana !”
Iro yang medengarkan nada yang begitu ketus. Ia tak menghiraukan. Ia berusaha mengeringkan sayapnya yang basah kuyup dengan menggunakan daun yang kering dan berjalan mencari cahaya matahari.
“Terlalu ceroboh. Tak pantas dirimu menjadi peri. Siapa namamu, anak kecil ?” Tanya sosok kecil seperti dirinya, bertaut tiga tahun lebih tua jika dibandingkan dengan umur Iro.
Masih saja Iro diam tidak menggubris pertanyaan itu.
“Claudy…” Ia terbang menghampiri Iro.
“Kau terlihat senang sekali melihatku terlihat rapuh. Tak sedikitpun kau menolongku untuk keluar dari air yang sangat berbau itu !” Iro berjalan mencari sinar matahari yang menerobos di tepi-tepi dedaunan yang sangat lebat. Untuk mengeringkan sayapnya dengan cepat atas bantuan sianr matahari.
“Aku ingin melihatmu usahamu anak kecil.. !” Jawabnya yang masih saja ketus.
 “Aku tak suka melihat anak yang sangat manja. Apalagi yang sangat berharap penuh mengharapkan pertolongan, yang belum tentu orang lain akan menolongmu.” Lanjut Claudy.
“Maksud kamu apa ?” Ia melihat sekilas wajah Caludy. Dan duduk di samping bunga mawar merah ranum dan merekah disinari  matahari.
Claudy duduk di kelopak mawar merah itu, “Kau tahu…, sebenarnya kamu bisa melakukan semuanya tanpa bantuan orang lain. Karena dirimu memiliki banyak potensi yang kau tidak mengetahuinya.”
“Tapi kau lihat aku tadi, kan ?? Aku….”
“Aku tidak akan membiarkan dirimu hanyut oleh air. Aku dari tadi melihatmu dari atas ranting yang tak kau ketahui.”
“Mengapa kau tak membantuku langsung agar aku cepat keluar dari air itu ??”
“Aku tak ingin kau bergantung dengan orang lain. Karena aku tahu. kamu bisa menuju ke daratan atas usahamu sendiri. Dan pada dasarnya semuanya itu bisa Iro…, cuman mereka itu malas dan bergantung kepada orang lain.” Claudy turun mendekati Iro sembari membantunya untuk mengeringkan sayapnya. “Berusahalah semampumu. Kamu bisa saja meminta bantuan, kalau kamu merasa sudah tak sanggup lagi untuk melakukannya.”
***
Percapakan mereka semakin lama semakin menjadi sangat akrab sekali.
“Dy..., sepertinya sayapku ada yang tidak beres nih. Aku merasakan ada lubang dikeduanya. Karena terbangku tak begitu kuat untuk mendapatkan angin, sehinga menyulitkanku untuk terbang.”
“Mudah sekali Iro.”
Everosiacoss….” Mantra yang terucap dari Claudy sembari ia memejamkan matanya dan menggerakkan sayapnya yang dikepakkan kearah Iro.
Dengan seketika lubang-lubang kecil itu tertutup sangat rapat. Bahkan tidak ada satu pun lubang di kedua sayap itu.
 “Wahhhh.” Iro tertegun takjub dengan mengembangkan senyumnya.
“Belum waktunya untukmu melakukan seperti aku. Butuh beberapa tahun lagi untukmu. Hehe.” Claudy mengerlingkan sebelah mata kanannya.
Keduanya terbang beriringan menuju suatu tempat yang ingin dituju oleh Iro.
“Aksiofalls….”
Seketika dua buah apel terjatuh dan dengan sigap Claudy menangkapnya. Karena keduanya tampak begitu lelah saat perjalanan.
“Hey…, kau sedang makan bukan ??”
Iro menganggukkan kepalanya.
“Kalau kau sedang makan, jangan kau berjalan.”
“Memang kenapa Dy ?”
“Minum dan makan sambil duduk, lebih sehat, lebih selamat, dan lebih sopan, karena apa yang diminum atau dimakan oleh seseorang akan berjalan pada dinding usus dengan perlahan dan lembut. Adapun minum sambil berdiri, maka ia akan menyebabkan jatuhnya cairan dengan keras ke dasar usus, menabraknya dengan keras, jika hal ini terjadi berulang-ulang dalam waktu lama, maka akan menyebabkan melar dan jatuhnya usus, yang kemudian menyebabkan disfungsi pencernaan.” [1]
“Pandai sekali kau, Dy”
“Orang pandai karena selain bergaul, tentunya membaca juga Iro.”
Keduanya berkelakar, kemudian saling memandang dan dengan sigap ia kembali makan sambil duduk.
Setelahnya mereka melanjutkan perjalanannya. Tampak begiu pucat sekali Iro, tampaknya ia kehausan.
Clearoseems… !!” Kembali Caludy mengucap mantra, dengan matanya yang terpejam dan mengepakkan sayapnya. Terlihat begitu jelas oleh matanya, bambu-bambu yang menyimpan banyak air.
Aziooozz… !!”
Dan terumpahlah air yang terdapat di dalam bambu itu.
“Minumlah Iro, tampaknya kau begitu lelah.”
Bahkan Claudy membuat tempat kecil untuk persediaan minum untuk perjalanan selanjutnya, yang dikalungkan di punggungnya.
“Sepertinya kita tidak bisa melanjutkan lagi. Kau tampak lelah sekali Iro. Besok kita tempuh lagi. Malam juga begitu larut dan kau dengar itu suara langit yang akan menurunkan hujannya.”
“Kau bisa sihir bukan ? Kenapa tak kau hentikan saja hujannya dan kau berikan aku tenaga agar aku lebih kuat.”
“Sihir hanya untuk keadaan yang terdesak. Alam tak akan berubah dengan sihir yang kita punya. Tak baik melawan alam. Di desa sebelah sana mengingkan hujan, karena mereka terlalu lama dilanda kekeringan. Kau tak boleh mementingkan dirimu sendiri Iro. Orang lain juga sangat perlu sekali.”
Terima kasih Claudy, kau mengajarkanku banyak tentng pelajaran yang belum aku ketahui. Iro yang berkata dalam hati. Dan ia menjadi ingat bahwa, semuanya itu ada yang perlu menggunakan sihir dan ada yang tidak perlu menggunakan sihir.
***
“Dy, nggak mungkin aku kesana. Mungkin aku sudah menjadi kenangan dan tidak akan pernah dingat oleh Rosa. Dia sudah sangat bahagis sekali Dy, dengan teman-teman barunya. Dan dia pun juga sekarang memiliki penampilan yang lebih cantik, tak buruk seperti kali pertama aku mengenalnya waktu sebelum kejadian hujan lebat yang membuat diriku hanyut terbawa air dan terdampar di kubangan air yang berbau busuk itu.”
“Nggak, Iro. Dia pasti akan mengingatmu. Yakin sama aku. Serius.”
“Nggak, Dy.., dia pasti lupa sama aku.” Iro jongkok di samping pohon dengan membenamkan kepalanya. Yang terdengar hanya isak tangisnya saja.
Brukk… Terdengar suara yang keras. Seketika Iro mengangkat kepalanya.
“Rosa…” Tak tahu mengapa, Iro menjerit sangat keras tanpa ia sadari.
“Iro ??”
“Iro siapa ??” Tanya Clara, teman Rosa.
“Iya…, itu Iro. Sahabat kecilku waktu dulu. Apa kau tak mendengar suaranya yang memanggilku tadi, Clara ?” Suaranya begitu riang gembira.
“Kau terlalu lelah mungkin Ros, aku tak melihatnya.”
Harapan ingin bertemu dengan Iro sirna sudah. Ia mengira itu suara Iro. Tetapi bukan, itu bukan suara Iro. Karena Clara tak mendengarkan suara kecil yang memanggil Rosa tadi.
“Hai anak cantik.., yang memanggil kau tadi benar Iro, sayang.” Claudy terbang beringan dengan Rosa yang ketika itu berjalan kaki meninggalkan Iro. “Hanya kau yang dapat melihat dia seorang, karena kau memiliki hati yang baik seperti dia.”
“Lalu kau siapa ??”
“Aku Claudy, sahabat dari sahabatmu juga Iro.”
Rosa tertegun melihat, Claudy yang berpenampilan sangat cantik. Sepatu kaca berwarna merah muda, sayap yang begitu besar. Yang besarnya melebih sayap milik Iro. Sayap tersebut berwarna kuning keemasan. Serta di atas rambutnya terdapat lilitan ranting kecil berwarna hijau muda.
“Kau kenapa Ros ?” Tanya Clara.
Claudy memberikan isyarat agar tak memberitahukan keberadaannya.
“Clara kau pulang dulu saja. Aku masih ingin di sini. Smpaikan kepada ibuku yah, aku pulang agak terlambat.”
***
Malam begitu gelap hanya tersisa sinar cerah dari kilauan bintang. Dan cahaya lampu neon di dalam kamar Rosa.
“Aku tak akan pernah melupakan dirimu Iro. Kau lihat ini ?” Rosa yang ketika itu membuka jendelanya, menyingkapkan gordennya dan duduk di samping jendela. Semetara Iro dan Claudy, berada di sampingnya.
“Kau masih menyimpannya, Ros ?”
“Tentu saja.”
“Hei apa itu ?” Tanya Claudy. Kemudian Rosa dan Iro menjelaskannya asal muasal cermin yang dibawa oleh Rosa. Dan seorang ibu yang sebatang kara itu begitu baik hati menerima kedatangan Rosa di rumah itu yang kini menjadi ramai ketika terisi oleh salah satu anggota keluarga yang dianggap seperti anak sendiri, yaitu Rosa.
“Kau di sini saja Dy, sama Iro. Aku tak ingin kalian berpisah seperti aku saat berpisah seperti Iro. Sangat sepi sekali hidup tanpa adanya sahabat.”
Tanpa basa-basi Claudy menerima ajakan itu, ia pun tak siap jika menggalkan Iro. Karena baginya Iro seperti adik dia sendiri.
“Kau tahu, selain kau tetap dihatiku sebagai sahabatku. Kau tak akan pernah aku lupakan Iro, sampai kapanpun. Sampai aku memiliki sahabat baru, aku tak akan pernah lupa akan dirimu untuk selamanya. Bagiku sahabat adalah bagian dari keluargaku juga.” Rosa menatap wajah Iro.
“Setiap malam cermin ini menemaniku, dan setiap aku melihat bintang yang tertangkap di dalam cermin ini. Aku selalu mengharapkan dirimu kembali seperti dulu lagi.”
Claudy menyenggol bahu Iro sembari melemparkan senyumnya. Terlihat ketiga sahabat itu saling melempar senyum dan tangis bahagia.
Malam yang begitu indah bersama bertemunya Iro dengan Rosa, Claudy yang menemukan sahabat-sahabat baruya, Iro dan Rosa.
Mereka berdua tidur pulas ditempatnya masing-masing. Rosa diatas kasurnya yang begitu empuk. Sedangkan Iro membagi tempat di dalam cerminnya bersama Claudy. Tak lupa kerlipan bintang di sana ikut menyambut kebahagian mereka bertiga.

-Selesai-


[1] Kata dari “Dr. Abdurrazzaq Al-Kailani”.
Sumber , http://remaszakaria.blogspot.com/2012/10/mengapa-makan-dan-minum-harus-duduk.html








1 komentar:

Dwi Arumantikawati mengatakan...

Keren imajinasinya ...!

Posting Komentar