Jumat, 09 September 2016 | By: Unknown

Negeri 1980 - Part 1

(Oleh: Andrew A. Navara)


Negeriku sungguh elok nian. Hamparan hijau rumput dan juga dedaunanan hijaunya. Tanahnya pun khas sekali aromanya, setelah air hujan menggenanginya dan kemudian meresap perlahan di dalamnya.
Udara segar pun menyeruak khas pula saat kalimah surat pengantar pertanda detik-detik yang segera memasuki shubuh. Lalu lalang kendaraan bermotor pun tak cukup banyak, masih banyak yang mengenakan sepeda kayuh. Dominasi kendaraan pribadi pun juga tak sebanyak seperti yang kau lihat saat ini.
Negeri 1980. Begitulah aku menyebutnya. Negeri yang masih elok. Aroma alam yang masih mendominasi semua wilayah. Tidak seperti Negeri 2016 ini.
Apa kau tahu? Negeri 1980? Andai kau tahu. Kau akan bahagia berada di sana. Aku saja ingin berada di sana lama-lama, bila kutahu begini jadinya negeri ini. Alam sungguh berbeda. Pula tak dapat ditebak. Tawa riang anak kecil yang kadang parau juga tidak pernah terdengar seperti ketika itu. Kicau burung pun juga tak terdengar indah dan bersahutan. Pun kumpulannya yang terbang berarakan menjelang mentari terbit dan juga menjelang senja.
Negeri 1980. Aku hanya bisa menjelajahnya melalui imajinasiku ketika terlelap. Bukan lagi menikmatinya secara real, sebagaimana dulu kala.
Ya.. Aku tak bisa berada di Negeri 1980 itu saat ini. Tetapi aku bisa ke sana melalui imajinasi yang masih tersimpan di ruang microchips otakku ini.

***

Aku suka di negeriku ini. Terlebih saat penghujaan datang. Saat para petani menuai hasil kerja kerasnya dan diperjualbelikan pada konsumen dan kadang juga keluarganya untuk dinikmati bersama.
Kata orang, negeri 1980 yang kini sedang berevolusi menjadi negeri 2000, tanahnya adalah tanah surga (Mungkin bukan hanya pada saat di negeri 1980, sebelumnya pun demikian). Apapun yang ditancapkan akan tumbuh dengan mudah. Demikian banyak sekali seharusnya potensi pertanian yang seharusnya ada di negeriku.
Negeri 2000, cukup menimbulkan keresahanku. Pertanian/sawah yang dahulunya begitu banyak dan luas, kini hilang. Bukan padi dan jagung yang tumbuh. Bukan pula rerumputan yang menggunung di sudut persawahan yang dikumpulkan petani untuk makanan ternak mereka…. Melainkan, tumbuh bangunan yang berjejer-jejer mewah…, pula dengan bangunan perkantoran yang bersaingan akan tinggi dan besarnya.
Aku meringis pucat. Membayangkan. Bagaimana bila negeri 2000 berevolusi menjadi negeri 3000 atau 4000 nanti? Jangankan di negeri itu. Dinegeri saat kini, negeri 2000?? Apakah sisa-sisa persawahan yang masih ada disekitaran dataran tinggi nantinya akan ada? Aku harap akan ada nantinya. Itu sangat penting. Tak mungkin kita terus mengambil produk dari negeri lain yang antah berantah yang memasukkan bahan pokoknya, lalu kita makan dengan lahap tanpa memikirkan muasal dari mana itu.
Ya.. semoga. Aku berharap kelak di negeri 2000, 3000 atau 4000, persawahan akan masih ada.. dan semakin lagi diperluas. Sebab perkembangan semakin zaman, semakin banyak dan membesar nantinya.

***

Persawahan yang indah sekali, yang ada pada negeri 1980 dulu dan sebelumnya masih ada beberapa yang ada saat ini. Sebagaimana pada pulau saudara tetangga yang masih di dalam negeri tentunya. Bahkan juga masih terjaga kelestariannya.
Hehijauannya berbagai tanaman di sawah bergoyangan ke sana kemari bermain bersama angin. Dan ada pula yang menguning. Padi…, Jagung…, Teh…, Tebu…, Lombok…, Melon…, Mentimun…, dan lain-lainnya.
Terdapat pula burung pipit yang kerap datang berpasangan beradu bersama para petani. Tidak hanya satu pasang, melainkan berpasang-pasang yang berjumlah cukup banyak.
Aku ingat betul di negeri 1980 itu. Disetiap persawahan selalu ada tali-tali memanjang bersama logaman kecil yang bilamana ditarik akan mengeluarkan bunyi, dan kemudian kumpulan pipit berlarian ke udara. Larian pipit kadang membuat petani cukup senang, tetapi kesenangan yang sedikit. Sebab pipit cukup nakal dan suka bermain dengan tanaman para petani…, ia kerap kembali lagi setelahnya diusir. Pula ada yang memasang patung buatan ala sekadarnya, bukan patung semen. Melainkan dari inisiatif petaninya. Kayu.. plastik.. dan jerami.

***

Ketika hujan datang ringkikan jangkrik dan ocehan katak saling saut-menyaut nyaring hingga terdengar di dalam kamar. Mata terkadang sulit memejam akibat suara yang cukup nyaring tersebut, terlebih setelah hujan yang membasahi persawahan. Tentu saja, aku kadang mengantuk di kelas sewaktu sekolah.
Bukan karena cuacanya yang terlalu dingin saat penghujan sehingga dapat menjadikan alasannya sebagai penyebab kantuk yang melanda…. Melainkan suara-suara nyaring itu. Suara nyaring yang tak lagi kudengar sangat nyaring di negeri saat ini. Kalau pun ada, jumlahnya hanya sedikit. Dan tidak senyaring terdahulu bilamana penghujang datang.
Ada rasa takut memang. Terlebih bilamana katak yang masuk ke dalam rumah. Ingat akan kata bapak, "Bilamana katak mengencingi matamu, kau akan buta. Ya, seperti Bik Mun." Sampai ketakutan, aku mau kencing saja harus membangunkan bapak dan ibuku. Atau aku menahannya sampai suara-suara itu mulai reda. Walaupun aslinya kebutaan Bik Mun, tetangga rumahku itu buta bukan karena dikencingi katak, melainkan gagal operasi mata saat zaman beliau berjuang bersama tentara mempertahankan negeri sebelum negeri 1980 yang kuketahui saat aku sudah cukup mengerti.
Begitulah orang tua. Anak tak dapat dibilangi baik-baik, akan diberikan contoh ekstrim yang diderita oleh orang yang dikatakan itu kepada anaknya. Meskipun hal itu sulit dinalar. Bisa juga bagian dari kepercayaan yang sulit dipahami secara ilmiah. Terbukti memang, terbukti ampuh untuk membuat anak-anak mereka menurut walau... sulit dipahami secara ilmiah.
Bukan hanya, mengenai katak, bila mata dikencingi akan mengakibatkan kebutaan. Namun juga dengan bentuknya yang membuatku bergidik. Sedikit basah dan membuatku geli. Ditambah lagi saat ia mengeluarkan suaranya. Iya menggelembungkan bagian lehernya terlebih dahulu lalu setelahnya suara khasnya itu keluar. Selain itu juga lompatannya sangat cepat dan tinggi sekali untuk seukuran katak seperti itu.

***

Kebun teh juga. Ada pemandangan yang indah. Kulihat seorang ibu-ibu dengam topinya besar, sembari memggendong tempat untuk menampung hasil petikan daun teh yang begitu terlihat sangat cekatan sekali dengan menggunakan tangannya. Tak seperti sekarang. Beberapa ada yang menggunakan mesin.
Masih saja terjaga mengenai kelestarian kebun teh. Aku menyukainya saat akhir pekan sekolahku dulu. Selalu menyempatkan diri pada kebun teh, sembari mendengarkan cerita-cerita Paman Arul yang mengenai dongeng-dongeng terdahulu, baik legenda bahkan juga fabel. Dongeng sangat lebih indah bila dibandingkan dengan tontotan televisi. Sebagaimana saat itu banyak yang menyukai tontonan televisi yang masih berlayar hitam putih. Bahkan sampai rela sekali mengunjungi rumah Pak Lurah hingga larut-larut untuk menyaksikan berita yang lebih baru. Aku masih ingat. Saat itu yang ada masihlah didominasi oleh TVRI. Belumlah ada stasiun pertelevisian yang lainnya terkecuali TVRI.

-Bersambung-


1 komentar:

Selalu Ada Inspirasi Untuk Menulis mengatakan...

Di negeri ini ku dilahirkan,
Hingga ku jatuh,
Terbangun lagi,
hanya tuk mencari ranah yang sama.
Tak tergantikan,
Namun tetap semangat tuk mencari,
Dan menanamkan,
Sedikit banyak polesan milenium.

Posting Komentar