(Oleh: Andrew A. Navara & Dannsaurus )
Merah ranum bibirnya sedari tadi kuperhatikan.
Gaya pakaiannya pun juga kulihat setiap jengkalnya. Mataku tak hentinya
melihat, sampai aku lupa bagaimana caranya mengedipkan mata. Cara jalannya pun
berbeda. Lebih anggun dan tak sembrono seperti saat ia masih duduk di bangku
SMP dulu. Mungkin
saja dia telah sadar bahwa dirinya sekarang adalah perempuan yang telah
sepantasnya menjaga penampilan.
Perempuan itu sekarang sedang duduk tak jauh dari
hadapanku. Di kantin inilah dia dan teman-temannya membentuk perkumpulan
semacam geng. Tampaknya mereka sedang berbincang santai
bersama teman-tamannya sembari menyantap
semangkuk bakso yang sudah menjadi kesukannya. Bibirnya sangat terlihat sensual saat
dia melahap bakso pesanannya. Sesekali ia
menyeruput es teh yang selalu menjadi pendamping
baksonya. Beberapa kali ia tampak mengusap mukanya yang telah basah oleh
keringat akibat sambal yang terlalu banyak dia tambahkan. Aku menebaknya begitu, sebab hanya kuah bakso miliknya saja yang berwarna orange, warna yang
berbeda dari perempuan di sampingnya itu.
Bibirnya semakin merekah merah saja
dari sebelumnya. Aduhai rasanya.. Aku tak tahu, mengapa pikiranku semakin liar saja
akhir-akhir ini.. Ataukah ini tanda bahwa diriku telah masa
pubertas, hingga melihat wanita yang sudah ‘berbentuk’ pun sampai
seperti ini? Terlebih si Marlina, dia lebih menarik jika dibandingkan temannya yang
lain. Aku tak mau berpikir terlalu jauh. Karena memang aku tidak tahu apa-apa saja tentang si puber yang tiba-tiba bertamu ke
otakku ini. Ya.. si puber. Aku menyebutnya
demikian.
***
Semalaman tadi aku mencari informasi tentang pubertas di internet. Tapi ada satu hal yang membuatku bingung. Yaitu mimpi basah.
Mengapa semua itu terjadi begitu saja? Kira-kira seperti bagaimana ya rasanya? Mengapa harus terjadi mimpi basah? Aku
memang tak tahu apa-apa. Karena memang aku belum pernah mengalami mimpi basah. Bahkan diusiaku yang sekarang ini telah menginjak ke 16 tahun.
***
Dulu
kupikir mimpi basah adalah kejadian yang sama halnya dengan mengompol.
Anggapanku itu sempat membuatku ditertawakan oleh salah seorang temanku yang memang sudah mengalaminya berkali-kali. Sedang aku? Aku belum pernah sama sekali hingga detik ini! Apa ada yang salah denganku?
Dua hari aku terus mencarinya
tentang mimpi basah itu. Entah kenapa hal itu menjadi sangat penting untukku. Akhirnya aku menemukannya di salah satu website yang membahas
tentang mimpi basah.
Seketika aku bergidik. Ini
benar-benar di luar nalarku, sebab akan ada cairan berbau menyangat
yang mengucur dari kemaluan dengan sendirinya
tanpa kendali si empunya yang sedang terlelap. Kalau ini yang
dipelajari, maka biologi akan menjadi pelajaran yang paling aku sukai, dan bisa
saja ini akan menjadi mesum dengan cara yang benar. Konyol memang. Tapi ini benar-benar menggelitik
pikiranku.
***
Sekarang bukan lagi tentang Marlina
yang kulihat di kantin saat bersama temannya itu. Tapi tentang Rumi. Perempuan berambut lurus tebal dan
bergelombang di ujungnya. Rambut yang tak pernah kusam, selalu mengembang
dan berwarna agak coklat.
Kabarnya rambut indah miliknya itu
adalah warisan dari sang ayah yang berasal dari negeri jauh. Bibir kecilnya,
merekah, dan agak basah, tak pecah-pecah seperti bibir Siti yang duduk di
belakangku. Mungkin dia mengolesinya dengan lipsglose. Bukan dengan minyak goreng seperti yang pernah dipakai Anti, teman sekolah
dasarku ketika kelas 6. Dia melakukan itu karena ia ingin terlihat mengkilat,
basah, tak kering. Iya... mengkilat dan selalu basah seperti para model yang mejeng di sampul-sampul depan tabloid yang selalu
dilihatnya sepulang sekolah. Sebab tak jauh dari arah jalan pulangnya terdapat
toko majalah yang digantungkan di tali layaknya pakaian yang sedang dijemur.
***
"Aris. Boleh pinjam penghapusnya
nggak?” Aku terdiam sambil menelan ludah.
“Pake saja kalo memang perlu." Jawabku dengan nada datar seakan tak ada sesuatu yang terjadi pada diriku. Padahal dalam sebenarnya gejolak hatiku seperti ada pentas
dangdut yang selalu ricuh sewaktu-waktu oleh para penonton yang rata-rata berhelm.
“Tapi kalau hilang kutuntut kepengadilan kamu ya.”
Kupaksakan untuk melontarkan candaan yang sebenarnya aku takut kalau garing,
karena memang aku tak pandai membuat candaan yang terkesan alami. Siapa tahu
dengan candaan itu ia memberikan respon yang positif. Rumi kemudian tersenyum. Dan senyumnya itu adalah senyum yang lebih indah dari yang aku
bayangkan. Aku tidak
akan lupa dengan senyum indahnya yang memikat itu.
"Gampang. Jangankan penghapus
sebiji, pabriknya sekalian aku kasih buat kamu.” Ia mengambil penghapus itu dan
kembali duduk dengan membenarkan sedikit kerah bajunya. “Tumben ngajak
becanda, biasanya juga diam sepanjang hari kayak patung kucing di toko
cina." Lanjutnya, sembari ia melemparkan senyumnya lagi yang
membuatku mabuk kepayang. Meleleh aku dibuatnya dan sepertinya aku
akan segera melayang ke awan seperti iklan televisi.
"Kenapa sih? Aneh deh. Emang semalaman
habis mimpi basah ya?" Lanjutnya lagi dengan senyumannya yang
menggoda itu. Ahh…. Senyum itu lagi... Ditambah dengan
jemarinya yang mengacak-acak rambutku.
Ya Tuhan! Bukan saja pertanyaannya
atau pun senyumannya itu yang bisa membuatku serasa ingin meledak, tapi
tangannya pun juga yang mengacak-acak rambutku membuat diriku salah tingkah tak
karuan.
Tuhan, untuk kali ini saja biarkan
aku khilaf. Aku ingin sekali membawanya pulang dan kemudian menelanjanginya. Lalu
tak akan
kubiarkan sejengkal pun bagian dari tubuhnya yang akan kulewatkan. Dan hari tak akan ada
habisnya jika aku berdua saja dengannya tanpa batasan.
Sial! Imajinasiku menjadi liar seketika.
Segala rupa lekuk tubuhnya tergambar dengan jelas. Bahkan aku sepertinya akan mengabadikannya dalam cerita
picisan.
***
Malam
ini aku membaca novel yang kubeli sepulang sekolah tadi. Ceritanya cukup vulgar
dengan penjabaran adegan sangat jelas. Aku berhenti membaca karena mataku tak
kuat lagi. Rasanya sudah lelah sekali mataku terjaga. Aku rebahkan badanku di
kasur. Kugeletakkan begitu saja novelnya disampingku. Malas sekali aku
mengembalikannya lagi. Mata sepertinya sudah ingin terburu-buru terpejam. Lampu
kamar kubiarkan menyala. Suara hewan malam juga masih akan setia menemani
tubuh-tubuh yang telah tertidur.
Perempuan
yang dalam cerita itu muncul dihadapanku. Sepertinya dia menyusul ke kamarku
dengan tujuan entah apa. Ketakutan sekali aku dibuatnya. Bukan takut
dicekik atau tindak kriminal lainnya, tapi apa yang dia lakukan saat ini adalah
bagian dari perilaku yang masih tabu untukku. Perempuan itu
melepas bajunya satu-persatu dan tampaklah semua bagian tubuhnya yang tak
tertutup sehelai benang pun. Perlahan menghampiriku dan mendekatkan wajahnya
kewajahku. Bibirku seperti mau ditelan saja olehnya. Dia lalu berdiri di depanku sembari membuka pahanya lebar-lebar. Telihat jelas
bagaimana bentuk wanita itu hingga bagian yang biasanya paling tertutup.
Payudaranya
yang sedari tadi mengendur pun, kini telah mengencang pula.
Benarlah yang dikatakan novel yang aku baca tadi. Bahwa manakala wanita
yang birahinya telah memuncak, maka payudaranya akan mengencang layaknya saat
perawan.
Dia
kembali mendekatkan wajahnya kewajahku. Dengan
cepat ia kemudian mendekapku erat sekali. Lalu ia
melumat bibirku…, sepertinya ia sudah sangat hafal betul apa-apa yang akan dilakukan
setelahnya. Aku
hanya diam saja merasakan hal aneh yang dia lakukan padaku saat ini. Aku
benar-benar seperti anak perawan nan polos yang tak tahu apa-apa. Tetapi ada hal aneh yang merajaiku saat ini. Sepertinya ada sengatan listrik
yang sedang aku rasakan. Badan dan alat vitalku seketika itu menegang penuh tak
terkendali. Aku
seperti sedang menahan kencing.
Tiba-tiba
aku terbangun saat aku seperti sedang melepas peluru dari alat vitalku. Mimpi itu terlihat sangat nyata. Sepertinya perempuan itu paham betul bagaimana memperlakukan lelaki
secara teliti. Padahal baru
saja aku berani membuka mata sambil kulihat dia meringis dengan tatapan mata
nakalnya yang tajam. Ah… Mengapa itu terjadi begitu cepat dan saat aku
menikmatinya mengapa ia hilang begitu saja... Kataku yang sedikit kesal sebab aku tak berhasil memperlakukan dia seperti
halnya dia memperlakukanku. Sepertinya dia tak
mengijinkan jika aku yang memegang kendali dalam permainannya
tadi, Padahal aku
sudah berani menatap wajahnya
yang tersenyum nakal itu dan aku juga siap jika akan terjadi hal yang luar biasa.
Sekarang
aku menaggung akibatnya. Celanaku rupanya sesak oleh kemaluanku yang telah
menegang entah sejak kapan. Terasa agak sakit karena mungkin telah mengeras
sejak aku mulai tertidur. Ulah wanita itu benar-benar membuatku kepayahan saat
ini. Bagaimana tidak. Tak hanya kemaluanku saja yang sakit karena tegang, tapi
juga celanaku yang basah oleh cairan yang
sampai membuatku terkejut. Apa ini? Cairan ini seperti lendir, baunya menyengat dan agak anyir. Aku yang melihatnya mirip seperti telur katak yang
biasa kulihat di sawah. Jijik sekali aku melihatnya. Segera aku beranjak dari tempat tidurku dan melepas celanaku dengan celana yang baru, padahal nafasku masih belum
juga stabil.
Lalu aku berjalan ke dapur untuk
mencari minum dan menenangkan diri. Aku masih bingung dengan mimpiku tadi. Kejadian itu
seperti nyata saja. Sepertinya aku telah bisa disebut sebagai lelaki dewasa. Sejuknya air minum ini cukup
membuatku lebih tenang. Aku tak akan melupakan mimpi mesumku yang pertama ini. Aku ingin mengulanginya
lagi nanti. Malam selanjutnya atau kapan pun itu, sebab sepertinya itu sangat
menyenangkan.
***
Dua pekan sudah berlalu sejak mimpi
basah pertamaku itu. Aku mulai sedikit lebih tenang karena mimpi
basah itu sepertinya telah menjadi candu. Sekarang aku memanggap diriku sepenuhnya telah
dewasa. Kurasa aku tak perlu canggung lagi kalau
nanti bertemu dengan Rumi atau pun saat dia mengacak-acak rambutku. Sepertinya
dia menyukai rambutku jika dibandingkan dengan si empunya
rambut yang diacak-acaknya ini. Tetapi tetap saja, ada hal yang aku tak berani. Adalah nyali
untuk mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta kepadanya. Rasanya berat sekali.
Aku takut kalau dia tahu lalu sikapnya akan berubah terhadapku karena dia selama ini dia
hanya menganggapku sebagai teman saja, tak
lebih dari itu.
Cinta memang tak mengenakkan sekali
jika tersimpan tanpa diketahui oleh orang yang dicintainya. Cinta
itu sulit membuat orang tertidur, dan selalu terbayang-bayang akan wajahnya
dalam imajinasi yang diciptakan. Dan tersenyum sendiri seakan-akan khayalannya
adalah kenyataan yang indah. Cinta itu kukira semudah seperti saat Feri, teman
SMP ku dulu yang pandai sekali merayu perempuan dan langsung dengan cepat
perempuan jatuh ke dalam pelukannya tanpa menunggu esok atau lusa. Nyatanya tak
sepenuhnya seperti itu. Entah Feri yang pintar atau aku yang memang bodoh.
***
Pintu gerbang kuperhatikan sedari
tadi. Ini sudah pukul 06.20, bertanda bahwa 10 menit kelas akan dimulai. Namun
tak kulihat Rumi datang ke sekolah yang biasanya datang lebih awal. Aku menjadi gelisah rasanya.
Khawatir kalau terjadi kecelakaan dengan mobilnya atau terjadi hal lain yang
tak diinginkan. Aku segera beranjak menuju kelas dengan perasaan yang tak
karuan. Aku masih berharap kalau Rumi akan datang hari ini, walau terlambat.
Aku
melamun di tempat dudukku. Entah mengapa aku berubah menjadi sosok yang
berlebihan seperti ini? Bukankah besok juga masih ada hari? Rumi pasti akan ke
sekolah esok hari. Dan dia akan kembali mengacak-acak rambutku dan sejenak merebahkan
kepalanya di pundakku sambil melingkarkan tangannya ke punggangku. Itu adalah
kebiasaan yang Rumi lakukan beberapa hari terakhir ini. Tak heran jika beberapa
orang menganggap kami pacaran. Aku hanya tersenyum geli sambil mengatakan bahwa
kami hanya teman saja, walau pun sebenarnya dalam hati aku senang jika aku dan
Rumi menjadi sepasang kekasih.
Tapi
kabar yang aku dapat hari ini adalah Rumi benar-benar tak ke sekolah. Aku
menduganya hari ini Rumi sakit karena kemarin sepulang sekolah dia sempat muntah
sedikit di tempat parkir. Aku melihatnya dari kejauhan sebab dia dengan geng
gaulnya yang tak sedikit. Geng yang menurutku adalah sekumpulan anak orang
berduit. Kalau sedang dengan mereka, Rumi hanya melirik sebentar lalu
memalingkan mukanya. Aku memang agak sakit hati dengan caranya memandangku
seperti itu. Tapi entah mengapa sakit hatiku hilang begitu saja ketika Rumi
duduk di sampingku saat di dalam kelas. Hatiku terasa segar dan bahagia seperti
tak terjadi apa-apa sebelumnya.
Aku
ingin datang ke rumah Rumi untuk menjenguk atau pun sekedar basa-basi. Mungkin
ini adalah momen yang tepat untuk mengatakan bahwa aku jatuh cinta padanya.
Walau sepertinya akan sulit karena aku bukan tipe orang yang bisa bicara secara
gamblang atau pun terbuka. Apa lagi tentang rasa suka yang kubiarkan diam
begitu lama. Pernah aku membayangkan jika hidup layaknya Don Juan yang dengan
mudahnya menaklukkan wanita hanya dengan sekali kedipan mata. Atau pun seperti
James Bond yang tampak maskulin.
Tapi harus kuakui kalau aku memang
tak berani. Sepertinya ada banyak hal yang mengganggu
pikiranku. Salah satunya adalah jika cintaku
bertepuk sebelah tangan. Bahkan hanya sekedar
untuk menyapanya
pun berat sekali. Membayangkan dia tersenyum
padaku saja bisa pingsan aku dibuatnya. Keringat sudah
berkeliaran disekujur badan hanya karena membayangkan apa-apa yang akan aku katakan
padanya nanti. Aku akan beralasan apa jika nanti aku bertemu orang tuanya yang pasti akan
bertanya banyak hal. Aku jadi serasa calon menantu yang harus menjelaskan bibit
bebet bobot pada sang calon mertua. Apalagi aku berencana akan membawa bunga. Jelas
saja tidak mungkin hanya sebatas teman jika kedatangannya membawa bunga. Orang
tuanya pun pernah muda. Pasti akan panjang urusannya nanti.
Ah sudahlah.
Yang penting aku datang saja dulu. Apa pun yang terjadi nanti biarkan saja
terjadi. Sementara ini aku menulis kata yang
mungkin saja berguna untuk kuberikan padanya nanti. Mungkin kata cinta yang
berbunga-bunga. Atau kalimat datar yang akan kubiarkan saja dia menebak apa
maksudnya. Tapi kurasa beberapa lembar kertas tak cukup menggambarkan apa saja yang
aku rasakan padanya. Sepertinya banyak yang harus aku ungkapkan dalam kertas
ini. Tentang awal aku jatuh cinta padanya, apa yang aku rasakan setiap hari
bersamanya hingga impianku dengannya di masa depan.
Aku gemetaran sekali, seperti sedang demam saja.
Ya Tuhan, aku ini kenapa? Gembira, Gelisah atau apa? Tetapi jujur saja. Aku
masih ragu apakah aku akan datang ke rumahnya atau mengirimkannya saja lewat
kurir? Aku benar-benar tak punya keberanian untuk itu. Membayangkan saja aku
sudah lemas dan semakin
tidak yakin pada niatku. Walau di sisi lain aku sangat
bersemangat menghadapi cinta pertamaku itu.
Sekolah hari ini berakhir lebih
cepat. Guru yang seharusnya mengajar dipelajaran terakhir tidak datang. Entah
alasan apa pak guru itu tak mengajar hari ini. Tapi masa
bodohlah apa pun alasannya, memang aku senang jika pelajaran berakhir lebih
cepat. Pusing rasanya jika lama berada di sekolah. Jarum jam sepertinya tak
bergerak sama sekali.
Aku langsung meninggalkan kelas dan
segera menuju toko bunga. Bahkan aku tidak langsung pulang ke
rumah lebih dulu. Setibanya di toko bunga aku memilih bunga mawar
putih saja. Sebab sepertinya dia sangat suka warna itu. Kuku yang pada dasarnya
berwarna putih pun dicatnya kembali dengan warna itu. Kadang malah menggunakan tipe-x. Bukunya
pun bersih dengan tulisan yang rapih. Sepertinya tak akan dibiarkannya warna
lain ikut campur di sana kecuali warna tinta. Dia sangat teliti terhadap warna putih.
Jadinya aku mengurungkan niat untuk membeli
buah. Selain karena harganya yang mahal, juga karena uang yang tersisa di
kantongku telah menipis. Bahkan sepertinya aku jalan kaki saja sepulangnya dari
rumah Rumi nanti. Jarak antara rumahku dengan rumah Rumi memang cukup jauh. Aku
tahu rumahnya secara tidak sengaja. Saat itu lebaran idul fitri, aku mengantar
kue buatan ibu yang dipesan oleh tetangga Rumi. Saat itulah aku melihat Rumi
sedang dipeluk ayahnya di teras depan rumah. Mereka sepertinya sangat akrab.
Hal yang sepertinya jarang sekali terjadi. Bahkan antara bapakku dengan
anak-anaknya. Kami bicara sekedarnya dan seperlunya saja. Bahkan bisa beberapa
hari kami tidak saling bicara. Bukan sedang berselisih paham, tapi memang
begitulah kami hidup yang seolah tidak ada cinta dalam keluarga.
Aku langsung buru-buru menuju
rumahnya yang cukup menyita waktu untuk sampai. Sembari berjalan aku menduga-duga
siapa yang akan kutemui pertama kali dan apa yang akan aku katakan padanya.
Badanku semakin bergetar membayangkan kebahagiaan yang sepertinya akan
menyambutku. Setelah sekian lama kubiarkan saja terpendam dalam hati. Serasa
adegan film India yang menari di taman bunga, begitulah aku membayangkan apa
yang akan terjadi padaku nanti. Konyol sekali rasanya. Seperti orang gila aku tersenyum
sendiri di sepanjang jalan karena mengilustrasikan
diriku layaknya aktor Bollywood yang sedang menari dengan dikelilingi wanita
bergemerincing.
***
Sampai juga aku di rumahnya.
Padahal aku hampir saja membatalkannya tadi. Ternyata di rumahnya ramai sekali seperti ada hajatan. Kutanyakan pada
seorang lelaki
yang sedang berdiri tak jauh dari pintu pagar
yang tak tertutup rapat. Mungkin saja dia tahu sedang ada apa di rumah Rumi. Tapi tak mungkin ada
musibah. Karena jika ada musibah yang menimpa keluarga salah satu murid pasti
akan diumumkan di sekolah. Dan pasti aka nada
tanda silang berwarna merah disekitaran rumahnya itu, tetapi nyatanya tidak ada
tanda apapun itu.
Kutemui seorang lelaki paruh baya yang berdiri dekat pagar rumah Rumi,
lelaki itu mengatakan kalau akan ada pesta pernikahan. Aku jadi
bingung. Padahal sepengetahuanku Rumi adalah anak bungsu dari tiga bersaudara dan kedua kakaknya telah berkeluarga. Bapak tersebut juga
mengatakan kalau si anak bungsu dari keluarga yang tengah terlihat sibuk itulah
yang akan menikah besok.
"Rumi?.” Kataku
seketika.
Lelaki
berkaos biru itu juga mengatakan kalau Rumi menikah karena telah hamil beberapa
bulan. Deg! Siapa yang merusak Rumi-ku. Siapa lelaki
yang telah merusak takdirku bersamanya. Wajahku seketika memanas. Seperti ingin
marah, menangis dan juga seperti hendak marah.
“Rumi
nikah sama siapa pak?”
“Kalau nggak salah sih, namanya
Aga. Calon mempelainya itu.” Jawab si bapak kemudian yang sambil
memastikan nama Aga tercetak dalam kertas undangan yang berwarna putih dengan
kombinasi warna abu-abu.
Aku
hanya tersenyum kecut mendengar penjelasan singkat itu. Singkat memang, tapi
sudah menjelaskan semuanya. Nyatanya laki-laki
itu adalah Aga. Dia memang biasa dipanggil begitu. Dia teman sekelas Marlina, perempuan
yang membuatku mabuk kepayang.
Kupikir Aga tak mengenal Rumi
dengan baik, pun juga sebaliknya, sebab mereka selalu biasa saja jika
berpapasan. Seolah tak ada hal lain yang terjadi kecuali hanya pertemanan biasa
layaknya aku dengannya. Aku segera beranjak pergi meninggalkan rumah yang membuatku naik darah
itu. Dadaku terasa sesak dan panas sekali. Ingin aku mengamuk. Aku pulang
dengan perasaan tak tenang.
Aku
mampir ke makam nenek. Bunga yang kubawa itu
kuletakkan di makam nenek. Pemakaman umum memang tidak jauh dari tempat
tinggal penduduk. Aku meletakkannya di atas pusaranya. Dengan bunga ini aku
mengadu pada nenek tentang kisah cintaku yang agak tragis.
Aku
marah sekali rasanya. Entah pada siapa. Apa harus marah pada Aga yang telah
mengambilnya dariku? Apakah aku juga harus marah pada Rumi yang sepertinya mau
diambil oleh Aga? Ataukah aku harus marah pada diriku sendir yang tak berani
mengambil keputusan secepatnya? Sepertinya kami bertiga memang salah.
***
Satu hari tanpa Rumi di kelasku
sekarang. Aku duduk sendiri, belum ada teman lain yang mengisi tempat duduk
Rumi yang biasa duduk tepat di sampingku. Sedikit sepi dan agak muak jika
membayangkan wajah Rumi. Tapi aku juga rindu dengan segala tingkah lakunya yang kadang sableng.
Ah Rumi-ku.
Aku memang tak sempat memilikimu. Tapi setidaknya aku tak menjamahmu
lebih cepat dari seharusnya. Walau aku juga ingin memilikimu
seperti halnya Aga, tapi aku masih mampu menahan diri.
Kau dan Aga telah merusak impianku
untuk memilikimu. Bahkan disaat aku baru saja akan memberanikan diri untuk
menghampirimu. Ini benar-benar diluar dugaanku. Apa yang salah dengan kalian?
Atau memang aku tak paham dengan pergaulan ala anak selevelmu yang memang tak
bisa aku jangkau? Kalian sangat di atas. Berbanding terbalik denganku yang
lusuh, kusam dan sangat di bawah.
***
Dua tahun sudah berjalan tanpa ada
Rumi. Sialnnya kini ia pindah rumah, dekat tempatku tinggal. Itu membuatku
kesal, sebab aku akan lebih sering berpapasan
dengannya dan akan lebih susah untuk melupakan dirinya. Anaknya yang sudah berusia sekitar dua tahun itu pun aku tidak suka.
Bagiku bertegur sapa sekedarnya sudah lebih dari cukup. Itu pun hanya basa-basi
saja. Aku tak mau terlalu lama berbincang dengannya apa lagi dengan suaminya.
Seperti kemarin sore, lelaki yang bernama Aga itu menyapaku dan kami bicara
cukup lama. Membahas masa sekolah hingga kehidupan rumah tangganya. Dari
perbincangan itu ia seperti sedang memberitahuku bahwa rumah tangganya tidak
baik-baik saja. Ada selisih paham dan pertengkaran seperti orang tuaku dulu
yang pernah hampir bercerai. Agak ngeri juga aku membayangkan jika mereka
bercerai diusia Rumi yang bahkan belum 18 tahun
Bertepatan dengan itu semua, aku
sudah tak lagi menjadi siswa yang mengenakan seragam putih abu-abu. Melainkan
pakaian kemeja dan jeans seenaknya sendiri dengan masih tetap memakai sepatu.
Tentunya dengan rambut yang sudah agak keren yang jauh berbeda ketika SMA. Kini
aku menjadi seorang mahasiswa. Lama sekali aku menunggu masa seperti ini. Masa yang
menurutku adalah masa yang hebat. Hebat karena karena tak perlu lagi
menggunakan seragam. Dan rasanya semua mahasiswa akan memperlihatkan sisi
rupawannya.
Termasuk perempuan yang duduk tak jauh didepanku dan itu sama persis seperti saat aku melihat
Marlina di
kantin dulu. Marlina yang saat itu berseragam putih
abu-abu sangat membuatku mabuk kepayang. Dan Marlina
pula yang membuatku rela jungkir balik mencari informasi tentang pubertas.
Alhasil malamnya aku menjadi dewasa seperti yang seharusnya menurutku, setelah ditambah oleh pertanyaan Rumi yang
sembari kali pertamanya yang mengacak-acak rambutku itu. Hal itu menjadi pengalaman yang tak akan
pernah aku lupa. Walau hanya dalam mimpi, tapi masih sangat jelas sensasi apa
yang kurasa ketika orgasme.
Sekarang pun begitu. Aku melihat perempuan yang duduk tak jauh dariku itu sambil
sesekali menyeruput jus pesanannya. Kali ini perempuan itu sempat membuatku tak tahan,
tak lebih saat kali pertama aku melihat Marlina. Hampir
saja aku hilang kendali. Hal ini membuatku ragu, apakah sewaktu itu aku melihat Marlina itu
benar-benar dengan sikap yang biasa-biasa saja sebagai laki-laki yang menyukai
keelokan akan perempuan? Atau hanya sekedar nafsu saja?
Aku masih takut menyebut ini adalah cinta, sebab perasaan ini sama dengan
kali pertamanya aku mencintai Rumi.
Aku akan lebih berani menyebut ini cinta adalah saat aku berani
mengungkapkan perasaanku kepada perempuan yang aku sukai, bukan yang aku pendam
saja dalam hati, bukan hanya aku saja yang merasakan itu cinta. Karena bila
dipendam dan tak pernah tersampaikan itu bukanlah suatu cinta sebagaimana yang
pernah aku sebut sebagai cinta diam-diam. Tapi kekaguman yang berbuah penyesalan. Diam
memang emas, tapi tapi adakalanya diam adalah malapetaka.
Saat ini aku melihat perempuan itu dengan pertanyaan yang
sama ketika aku menyukai Marlina, apakah aku menatap perempuan itu
dengan benar yang biasa-biasa saja sebagai laki-laki yang menyukai keelokan
perempuan? Ataukah hanya sekedar nafsu layaknya para penjahat
kelamin?
-Selesai-
_______
Andrew A. Navara
Blog: andrewanavara.blogspot.com
Dannsaurus
Blog: dannsaurus.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar