(Oleh: Andrew A. Navara & Diis Yosri)
Aku ingat betul
ketika ibu harus meniggalkan rumah, mengajakku bersama Laudya.Waktu itu terjadi
perdebatan yang hebat di dalam kamar mereka. Tangis ibu pecah di dalam sana.
Sedangkan bapakmenjatuhkan guci hingga menjadi berkeping-keping. Selepas menjatuhkan
guci, bapak mendadak hening dan langsung duduk di kursi. Aku melihat bapak
termenung dan tak mendegarkan tangis pecah ibu yang begitu keras.
Dalam diamnya,
aku melihat bapak lebih memilih acuh terhadap tangisan ibu dan memilih mengisap
sebatang rokok miliknya.
"Apalagi
yang harus kita perjuangkan?" tanya bapak sambil mengembuskan asap rokok
dari mulutnya, "Kamu harus sadar." Sambungnya lagi sambil mengisap
lagi rokoknya.
Mereka hening
sejenak.
"Kamu,
tidak akan pernah memahami perasaan seorang ibu, Mas!"
Aku langsung
pergi dari balik pintu karena melihat ibu berjalan menuju ke arahku. Ibu
menghapus air matanya sambil berjalan. Napas akibat tangisnya itu terdengar
jelas olehku.Segera saja ibu masuk ke dalam kamar Laudya.Sedangkan aku
melangkahkan kakiku menuju kamar bapak dan ibu.
“Kenapa sama
Ibu, Pak?”
“Tanyakan saja
pada Ibumu.” Bapak menyemburkan asap rokok dari mulutnya. “Kalau tak ada yang
ditanyakan lagi. Silahkan keluar. Bapak ingin sendiri.” Bapak berdiri dan
mematikan rokoknya yang tinggal seperempat isapan lalu merebahkan dirinya di
atas kasur lalu mematikan lampu.
Aku menundukkan
kepalaku dan keluar dari kamar bapak dan ibu. Tidak kutemukan jawaban atas
permasalahan apa yang sedang mereka ributkan tepat ditengah malam saat
itu.Selama delapan tahun sejak aku berusia sepuluh tahun, aku tidak pernah
melihat bahkan mendengar keributan mereka hingga membuat ibu menangis hebat
seperti malam itu.
Dari balik pintu
kamar Laudya, aku melihat ibu. Laudya pun juga tampaknya memberikan pertanyaan
mengenai apa yang membuat ibu menangis hebat saat itu. Dan juga memberikan
pertanyaan mengapa tidak sedang tidur di kamarnya.
***
Waktu itu,
ramadhan masih masuk hari ke-5.Aku menyantap sahur bersama bapak.Rumah sebesar
ini, kini ditinggali oleh dua orang.Biasanya hanya satu orang saja, bapak.Ibu
pergi meninggalkan bapak, setelah dua hari perdebatan mereka saat malam itu.
Ketika itu, ibu tiba-tiba
mengajakku pergi bersamanya dan juga bersama Laudya. Aku dan Laudya
dipanggilnya ketika malam itu. Kami begitu terkejut, ketika melihat ibu bersama
dengan tiga buah koper berukuran sedang. Ibu seketika saja menyatakan
keinginannya untuk pergi dari rumah ini bersama aku dan juga Laudya.
"Kita
pamitan sama bapak dulu ya, Bu?" ujar Laudya
“Tidak perlu
kalian bangunkan bapakmu! Segera kita pergi sekarang!”
“Bu?”
“Sudah Ibu
tinggalkan surat untuk bapakmu di atas kursi yang bodoh sama seperti dia yang
bodoh itu di dalam kamarnya!”
Aku dan Laudya tidak
berani membantah pernyataan ibu. Sebab kami tahu betul bagaimana ibu kalau
sedang marah. Jadi kami tidak mau mengambil risiko yang lebih besar lagi.
Tetapi hari ini,
tepat di ramadhan ke-5, tanpa sepengetahuan ibu, aku datang diam-diam ke rumah
untuk menemui bapak. Jujur saja, ada tanda tanya besar yang terus menghantui
pikiranku.
“Kamu tidak
pulang ke rumah ibumu?” kata bapak sambil ia menaruh nasi yang siap akan ia
makan untuk sahur.
Aku diam saja,
sambil mengunyah daging yang tak kunjung
kutelan dalam kerongkongan. Masih kugiring ke kanan dan ke kiri.
“Laudya apa
kabar? Bapak rindu sekali padanya, ia tidak pernah datang melihat bapakmu yang
sudah tua renta ini.”
Aku masih saja
diam dan menggiring daging, higgga daging itu tidak memiliki rasa kare
lagi.Namun, aku masih saja menggringnya dan tidak memasukkan ke dalam
kerongkongan dan membawanya ke lambung.
“Ini mungkin
ramadhan terakhir saya, Pak.” Aku akhirnya menelan daging itu.
Bapak
menghentikan makannya.Seketika raut wajahnya tampak tidak bahagia setelah
mendengar kata-kata itu. Ia
memilih untuk menyudahi makannya lalu pergi ke dapur sambil membawa piring.
Aku tahu betul,
bapak takkan pernah kembali lagi ke meja makan ketika ia memilih untuk selesai.
Akhirnya, aku yang harus pergi menemuinya ke dapur.Ia tak ada di dapur. Lalu
aku ke kamarnya dan melihat bapak sedang duduk santai sambil menghisap sebatang
rokok yang biasa dibuatnya sendiri. Ia duduk di kursi bodohnya sebagaimana kata ibu, kursi bodoh
yang sama sepertinya yang bodoh juga.
“Bapak?”
Bapak diam
saja.Ia masih sibuk mengisap rokok sambil duduk di kursi bodohnya. Aku
menghampiri bapak.
"Saya
berharap ini terakhir kalinya melihat Bapak merokok," aku akhirnya
berkata-kata
Bapak langsung
mematikan dan membuang sisa rokoknya yang belum habis. Ia menyandarkan dirinya
ke badan kursi bodohnya itu.
Aku sepakat
dengan perkataan ibu. Terlihat sekali memang, saatbapak duduk di kursinya, ia
terilihat sekali akan kebodohannya. Kebodohan yang bukan mencari keluarga yang
sudah meninggalkannya dan kebodohan yang tidak mau mengikuti pinta ibu ketika
perdebatan saat malam itu. Tetapi hari ini, aku setuju dengan pilihan bapak.
Bahwa benar, hidup harus menatap ke depan. Aku tahu ia pasti sangat ingin
sekali menyelamatkan hidupku, namundi sisi lain ia juga tak bisa mengabaikan
hidup Laudya. Daripada sia-sia, inilah yang sangat tepat.
"Itu hari
yang sangat berat untukku," celetuknya
Aku melirik ke
arahnya lalu menggenggam tangannya. "Maafkan saya karena belum bisa
memenuhi semua keinginan Bapak."
"Aku ingin
sekali memperjuangkan hidup anak laki-lakiku satu-satunya. Namun di sisi lain,
aku juga tak bisa mengabaikan masa depan anak perempuanku."
Ini pertama
kalinya aku melihat bapak menitihkan air mata. Rasanya hatiku tersayat.
"Maafkan
Bapak, Keenan. Bapak gagal menjadi orang tua yang baik buat kamu."
Bapak menangis.
"...."
"Saya paham
Pak. Dan saya ikhlas."
"Bapak membuat
pilihan yang benar." Aku genggam tangan bapak lebih erat.
Bapak menatapku,
"Bapak, memang seharusnya menatap masa depan."
Bapak langsung
memelukku erat. Itu pertama kalinya, ia memelukku setelah aku tumbuh dewasa.
Aku bahagia sekaligus sengsara. Ini dilema yang paling menyedihkan dalam
hidupku.
"Seandainya
Bapak bisa meminta pada Tuhan untuk menggantikan posisimu, Bapak akan lakukan.
Pasti."
Aku hanya diam
sambil terus mengelus-elus punggung bapak.
"Tapi ...."
bapak terisak
"Sudah Pak,
sudah."
Bapak melepaskan
peluknya lalu memegang kedua lenganku. Aku melihat tatapan kesedihan di
matanya.
"Jangan
menangis, Pak." Pintaku
"Bapak,
akan sangat merindukanmu, Nak," air mata bapak tumpah ruah.
Air mataku pun
jatuh. Itu kalimat terindah sekaligus menusuk bagiku. Dadaku mendadak sesak.
Aku tak tahu lagi bagaimana merangkai kata yang tepat untuk menjawab kata-kata
bapak barusan. Ini terlalu menyakitkan.
" Maafkan
saya, Pak."
Keenan pergi
sambil menahan isak tangisnya yang hampir tumpah.
***
Dua minggu
menjelang ramadhan akan berakhir. Aku tak sadarkan diri. Namun, disaat aku
sadar dan membuka mataku, aku melihat Bapak, Ibu dan juga Laudya berada di
sampingku.Aku ingin mengatakan sesuatu kepada mereka. Namun bibirku susah
mengejah huruf dengan sangat baik. Aku ingin menyampaikan pada bapak dan ibu,
agar mereka satu rumah kembali.
Aku ingin
melihat mereka kembali bahagia seperti dulu. Pun juga dengan Laudya, agar ia
dapat bersama dengan bapak, bukan selalu kemana-mana membawa foto bapak dan
tepat di pemberhentian bus saat akan berangkat sekolah, ia selalu tersedu-sedu
ingin bertemu dengan bapak. Ia tak berani mencari-cari cara agar bisa bertemu
dengan bapak. Ia tak sama denganku, terlau patuh pada apa yang dikatakan oleh
ibu, kadang juga bapak.
Dengan sisa
tenaga yang kumiliki, kupaksakan diriku untuk bangkit dari tidurku. Tak lagi
banyak waktu yang tersisa. Aku harus mengatakan hal ini, sebelum akhirnya kami,
tidak, mungkin aku yang akan sangat menyesal.
"Nak,
jangan memaksakan diri seperti ini."
"Keenan...,
akan segera pergi."
"Kakak!"
bentak Laudya
Laudya memegang
erat kedua tanganku. "Kakak pasti sembuh, aku yakin!"
Aku tersenyum
sambil membelai kepalanya. "Sini Adik kakak. Sini ...," kataku
Laudya mendekat
dan langsung memelukku. Lalu aku membisikkan pada telinganya dengan daya yang
masih lemah, "Kakak pasti akan sangat merindukanmu."
"Kenapa
harus kakak yang pergi? Kenapa harus kakak?" ia menangis.
Sakit yang
begitu hebat menghujam kembali tubuhku. Sakit sekali. Aku pun kehilangan
kontrol kesadaranku. Mataku mulai kabur. Tanganku tak lagi kuat untuk
merengkuh. Aku...
"Keenan!!"
Itu kata-kata
terakhir yang terdengar di telingaku. Mataku pun terpejam.
***
"Ibu!
Bapak! Kakak sudah sadar!
Aku mendengar
sebuah suara. Namun begitu sayup dan tidak terdengar jelas. Aku sudah tidak
kuat lagi. Sakit ini tak lagi bisa ditahan. Aku menyerah.
"Ibu..., Bapak."
Itu mungkin
kata-kata terakhir yang mampu kuucapkan.
"Iya, Nak.
Ibu di sini."
"Pergilah,
kalau Keenan sudah tidak kuat."
Aku melihat
sebuah cahaya putih. Bersinar dan terang sekali. Dan di tengah terangnya sinar
itu, aku melihat seseorang berjubah hitam keluar dari cahaya itu.Ia mendekat ke
arahku. Lalu mengulurkan tangannya.
"Waktumu
sudah habis. Sekarang saatnya pergi," katanya
"Keenan!!"
Suara itu
kembali menyentakku. Aku tersadar sejenak. Aku melihat semuanya lebih jelas
kali ini. Ibu, bapak dan Laudya. Aku tersenyum kepada mereka. Kepegang
masing-masing tangan bapak dan ibu, lalu kusatukan. Laudya pun menggenggam erat
tangan kami.
"Laudya,
yang akan gantikan kakak menjaga ibu dan juga bapak."
Aku tersenyum.
"Sudah
saatnya kamu pergi." Kembali pria berjubah hitam itu berkata lagi
"Assalamu'alaikum."
Tangan itu pun
terlepas. Aku pun..., pergi.
"Keenan!!!"
"Selamat
jalan, anakku."
Itu adalah
pertama dan sekaligus terakhir aku melihat bapak mengecup keningku. Aku harus
pergi kini. Sebuah cahaya putih kembali terlihat. Orang berjubah hitam
membawaku berjalan ke cahaya itu. Aku melirik untuk kali terakhir sebelum
akhirnya masuk ke cahaya itu dan benar-benar menghilang.
Selamat jalan,
Keenan.
-Selesai-
_______
Andrew A. Navara
Blog: andrewanavara.blogspot.com
Diis Yosri
Blog: novelisgaul.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar