Sabtu, 24 Juni 2017 | By: Unknown

Ukhuwah di Ujung Hayat



(Oleh: Andrew A. Navara & Diis Yosri)


Aku ingat betul ketika ibu harus meniggalkan rumah, mengajakku bersama Laudya.Waktu itu terjadi perdebatan yang hebat di dalam kamar mereka. Tangis ibu pecah di dalam sana. Sedangkan bapakmenjatuhkan guci hingga menjadi berkeping-keping. Selepas menjatuhkan guci, bapak mendadak hening dan langsung duduk di kursi. Aku melihat bapak termenung dan tak mendegarkan tangis pecah ibu yang begitu keras.
Dalam diamnya, aku melihat bapak lebih memilih acuh terhadap tangisan ibu dan memilih mengisap sebatang rokok miliknya.
"Apalagi yang harus kita perjuangkan?" tanya bapak sambil mengembuskan asap rokok dari mulutnya, "Kamu harus sadar." Sambungnya lagi sambil mengisap lagi rokoknya.
Mereka hening sejenak.
"Kamu, tidak akan pernah memahami perasaan seorang ibu, Mas!"
Aku langsung pergi dari balik pintu karena melihat ibu berjalan menuju ke arahku. Ibu menghapus air matanya sambil berjalan. Napas akibat tangisnya itu terdengar jelas olehku.Segera saja ibu masuk ke dalam kamar Laudya.Sedangkan aku melangkahkan kakiku menuju kamar bapak dan ibu.
“Kenapa sama Ibu, Pak?”
“Tanyakan saja pada Ibumu.” Bapak menyemburkan asap rokok dari mulutnya. “Kalau tak ada yang ditanyakan lagi. Silahkan keluar. Bapak ingin sendiri.” Bapak berdiri dan mematikan rokoknya yang tinggal seperempat isapan lalu merebahkan dirinya di atas kasur lalu mematikan lampu.
Aku menundukkan kepalaku dan keluar dari kamar bapak dan ibu. Tidak kutemukan jawaban atas permasalahan apa yang sedang mereka ributkan tepat ditengah malam saat itu.Selama delapan tahun sejak aku berusia sepuluh tahun, aku tidak pernah melihat bahkan mendengar keributan mereka hingga membuat ibu menangis hebat seperti malam itu.
Dari balik pintu kamar Laudya, aku melihat ibu. Laudya pun juga tampaknya memberikan pertanyaan mengenai apa yang membuat ibu menangis hebat saat itu. Dan juga memberikan pertanyaan mengapa tidak sedang tidur di kamarnya.

***

Waktu itu, ramadhan masih masuk hari ke-5.Aku menyantap sahur bersama bapak.Rumah sebesar ini, kini ditinggali oleh dua orang.Biasanya hanya satu orang saja, bapak.Ibu pergi meninggalkan bapak, setelah dua hari perdebatan mereka saat malam itu.
Ketika itu, ibu tiba-tiba mengajakku pergi bersamanya dan juga bersama Laudya. Aku dan Laudya dipanggilnya ketika malam itu. Kami begitu terkejut, ketika melihat ibu bersama dengan tiga buah koper berukuran sedang. Ibu seketika saja menyatakan keinginannya untuk pergi dari rumah ini bersama aku dan juga Laudya.
"Kita pamitan sama bapak dulu ya, Bu?" ujar Laudya
“Tidak perlu kalian bangunkan bapakmu! Segera kita pergi sekarang!”
“Bu?”
“Sudah Ibu tinggalkan surat untuk bapakmu di atas kursi yang bodoh sama seperti dia yang bodoh itu di dalam kamarnya!”
Aku dan Laudya tidak berani membantah pernyataan ibu. Sebab kami tahu betul bagaimana ibu kalau sedang marah. Jadi kami tidak mau mengambil risiko yang lebih besar lagi.
Tetapi hari ini, tepat di ramadhan ke-5, tanpa sepengetahuan ibu, aku datang diam-diam ke rumah untuk menemui bapak. Jujur saja, ada tanda tanya besar yang terus menghantui pikiranku.
“Kamu tidak pulang ke rumah ibumu?” kata bapak sambil ia menaruh nasi yang siap akan ia makan untuk sahur.
Aku diam saja, sambil mengunyah daging yang tak kunjung  kutelan dalam kerongkongan. Masih kugiring ke kanan dan ke kiri.
“Laudya apa kabar? Bapak rindu sekali padanya, ia tidak pernah datang melihat bapakmu yang sudah tua renta ini.”
Aku masih saja diam dan menggiring daging, higgga daging itu tidak memiliki rasa kare lagi.Namun, aku masih saja menggringnya dan tidak memasukkan ke dalam kerongkongan dan membawanya ke lambung.
“Ini mungkin ramadhan terakhir saya, Pak.” Aku akhirnya menelan daging itu.
Bapak menghentikan makannya.Seketika raut wajahnya tampak tidak bahagia setelah mendengar kata-kata itu. Ia memilih untuk menyudahi makannya lalu pergi ke dapur sambil membawa piring.
Aku tahu betul, bapak takkan pernah kembali lagi ke meja makan ketika ia memilih untuk selesai. Akhirnya, aku yang harus pergi menemuinya ke dapur.Ia tak ada di dapur. Lalu aku ke kamarnya dan melihat bapak sedang duduk santai sambil menghisap sebatang rokok yang biasa dibuatnya sendiri. Ia duduk di kursi  bodohnya sebagaimana kata ibu, kursi bodoh yang sama sepertinya yang bodoh juga.
“Bapak?”
Bapak diam saja.Ia masih sibuk mengisap rokok sambil duduk di kursi bodohnya. Aku menghampiri bapak.
"Saya berharap ini terakhir kalinya melihat Bapak merokok," aku akhirnya berkata-kata
Bapak langsung mematikan dan membuang sisa rokoknya yang belum habis. Ia menyandarkan dirinya ke badan kursi bodohnya itu.
Aku sepakat dengan perkataan ibu. Terlihat sekali memang, saatbapak duduk di kursinya, ia terilihat sekali akan kebodohannya. Kebodohan yang bukan mencari keluarga yang sudah meninggalkannya dan kebodohan yang tidak mau mengikuti pinta ibu ketika perdebatan saat malam itu. Tetapi hari ini, aku setuju dengan pilihan bapak. Bahwa benar, hidup harus menatap ke depan. Aku tahu ia pasti sangat ingin sekali menyelamatkan hidupku, namundi sisi lain ia juga tak bisa mengabaikan hidup Laudya. Daripada sia-sia, inilah yang sangat tepat.
"Itu hari yang sangat berat untukku," celetuknya
Aku melirik ke arahnya lalu menggenggam tangannya. "Maafkan saya karena belum bisa memenuhi semua keinginan Bapak."
"Aku ingin sekali memperjuangkan hidup anak laki-lakiku satu-satunya. Namun di sisi lain, aku juga tak bisa mengabaikan masa depan anak perempuanku."
Ini pertama kalinya aku melihat bapak menitihkan air mata. Rasanya hatiku tersayat.
"Maafkan Bapak, Keenan. Bapak gagal menjadi orang tua yang baik buat kamu."
Bapak menangis.
"...."
"Saya paham Pak. Dan saya ikhlas."
"Bapak membuat pilihan yang benar." Aku genggam tangan bapak lebih erat.
Bapak menatapku, "Bapak, memang seharusnya menatap masa depan."
Bapak langsung memelukku erat. Itu pertama kalinya, ia memelukku setelah aku tumbuh dewasa. Aku bahagia sekaligus sengsara. Ini dilema yang paling menyedihkan dalam hidupku.
"Seandainya Bapak bisa meminta pada Tuhan untuk menggantikan posisimu, Bapak akan lakukan. Pasti."
Aku hanya diam sambil terus mengelus-elus punggung bapak.
"Tapi ...." bapak terisak
"Sudah Pak, sudah."
Bapak melepaskan peluknya lalu memegang kedua lenganku. Aku melihat tatapan kesedihan di matanya.
"Jangan menangis, Pak." Pintaku
"Bapak, akan sangat merindukanmu, Nak," air mata bapak tumpah ruah.
Air mataku pun jatuh. Itu kalimat terindah sekaligus menusuk bagiku. Dadaku mendadak sesak. Aku tak tahu lagi bagaimana merangkai kata yang tepat untuk menjawab kata-kata bapak barusan. Ini terlalu menyakitkan.
" Maafkan saya, Pak."
Keenan pergi sambil menahan isak tangisnya yang hampir tumpah.

***

Dua minggu menjelang ramadhan akan berakhir. Aku tak sadarkan diri. Namun, disaat aku sadar dan membuka mataku, aku melihat Bapak, Ibu dan juga Laudya berada di sampingku.Aku ingin mengatakan sesuatu kepada mereka. Namun bibirku susah mengejah huruf dengan sangat baik. Aku ingin menyampaikan pada bapak dan ibu, agar mereka satu rumah kembali.
Aku ingin melihat mereka kembali bahagia seperti dulu. Pun juga dengan Laudya, agar ia dapat bersama dengan bapak, bukan selalu kemana-mana membawa foto bapak dan tepat di pemberhentian bus saat akan berangkat sekolah, ia selalu tersedu-sedu ingin bertemu dengan bapak. Ia tak berani mencari-cari cara agar bisa bertemu dengan bapak. Ia tak sama denganku, terlau patuh pada apa yang dikatakan oleh ibu, kadang juga bapak.
Dengan sisa tenaga yang kumiliki, kupaksakan diriku untuk bangkit dari tidurku. Tak lagi banyak waktu yang tersisa. Aku harus mengatakan hal ini, sebelum akhirnya kami, tidak, mungkin aku yang akan sangat menyesal.
"Nak, jangan memaksakan diri seperti ini."
"Keenan..., akan segera pergi."
"Kakak!" bentak Laudya
Laudya memegang erat kedua tanganku. "Kakak pasti sembuh, aku yakin!"
Aku tersenyum sambil membelai kepalanya. "Sini Adik kakak. Sini ...," kataku
Laudya mendekat dan langsung memelukku. Lalu aku membisikkan pada telinganya dengan daya yang masih lemah, "Kakak pasti akan sangat merindukanmu."
"Kenapa harus kakak yang pergi? Kenapa harus kakak?" ia menangis.
Sakit yang begitu hebat menghujam kembali tubuhku. Sakit sekali. Aku pun kehilangan kontrol kesadaranku. Mataku mulai kabur. Tanganku tak lagi kuat untuk merengkuh. Aku...
"Keenan!!"
Itu kata-kata terakhir yang terdengar di telingaku. Mataku pun terpejam.

***

"Ibu! Bapak! Kakak sudah sadar!
Aku mendengar sebuah suara. Namun begitu sayup dan tidak terdengar jelas. Aku sudah tidak kuat lagi. Sakit ini tak lagi bisa ditahan. Aku menyerah.
"Ibu..., Bapak."
Itu mungkin kata-kata terakhir yang mampu kuucapkan.
"Iya, Nak. Ibu di sini."
"Pergilah, kalau Keenan sudah tidak kuat."
Aku melihat sebuah cahaya putih. Bersinar dan terang sekali. Dan di tengah terangnya sinar itu, aku melihat seseorang berjubah hitam keluar dari cahaya itu.Ia mendekat ke arahku. Lalu mengulurkan tangannya.
"Waktumu sudah habis. Sekarang saatnya pergi," katanya
"Keenan!!"
Suara itu kembali menyentakku. Aku tersadar sejenak. Aku melihat semuanya lebih jelas kali ini. Ibu, bapak dan Laudya. Aku tersenyum kepada mereka. Kepegang masing-masing tangan bapak dan ibu, lalu kusatukan. Laudya pun menggenggam erat tangan kami.
"Laudya, yang akan gantikan kakak menjaga ibu dan juga bapak."
Aku tersenyum.
"Sudah saatnya kamu pergi." Kembali pria berjubah hitam itu berkata lagi
"Assalamu'alaikum."
Tangan itu pun terlepas. Aku pun..., pergi.
"Keenan!!!"
"Selamat jalan, anakku."
Itu adalah pertama dan sekaligus terakhir aku melihat bapak mengecup keningku. Aku harus pergi kini. Sebuah cahaya putih kembali terlihat. Orang berjubah hitam membawaku berjalan ke cahaya itu. Aku melirik untuk kali terakhir sebelum akhirnya masuk ke cahaya itu dan benar-benar menghilang.
Selamat jalan, Keenan.

                                                          -Selesai-         


_______


Andrew A. Navara
Blog: andrewanavara.blogspot.com

Diis Yosri
Blog: novelisgaul.blogspot.com




0 komentar:

Posting Komentar