(Oleh: Andrew A. Navara)
Listrik di zaman dulu sangat minim. Belajar pun dengan menggunakan cahaya yang sangat minim. Lampu ublik (lampu dinding) begitulah kami orang Jawa menyebutnya. Lampu yang berbahan bakar minyak tanah dan sumbu yang ada di ujungnya sebagai pencahayaannya. Kalaupun tak ada lampu ublik, lilin pun akan jadi sebagai penggantinya.
Perjuangan
yang amat sangat, terlebih berada di dalam pelosok waktu itu. Membaca kadang
tak jelas dengan pencahayaan minim. Mata terkadang juga sakit. Bahkan beberapa
temanku pun ada yang sampai membaca bukunya dengan mendekatkan matanya yang
amat sangat dekat meskipun saat pagi dan siang.
Kurasa
hal itu dikarenakan faktor ia terlaku dekat dan memaksakan diri untuk membaca
dengan pencahayaan lilin. Pencahayaan yang sekedarnya saja. Bukan karena
kebanyakan menonton film-film kartun atau film drama negeri yang kurasa sudah
sedikit akan manfaat yang diselipkan di sana. Justru lawakan yang semacam
memberdayakan bullying kepada sesama. Terlebih lagi tontonan yang di luar pengawasan
orang tua khusus anak-anak mereka yang amsih kecil yang tak menahu tentang
segala apapun itu.
Lilin
yang berukuran kecil pun masih dibuat dan digunakan. Tidak langsung
menggantinya dengan yang baru. Menghemat. Ya…, menghemat. Bukan pelit.
Bayangkan
saja bagaimana sulitnya belajar di negeri 1980, bila dibandingkn dengan zaman
sekarang ini? Zaman yang sudah berkelimpahan akan listrik. Namun para
bibit-bibit yang masih kecil terkadang enggan untuk membuka buku mengenyam
ilmu, ilmu yang lebih berkembang bila dibandingkan dengna ilmu di negeri 1980
dengan semangat kami sewaktu itu yang menggebu untuk mengenyam ilmu-ilmu baru.
Mengenai
lilin…. Aku pernah membantu perekonomian ibu yang sangat kurang sekali saat
itu, dengan menjajahkan es lilin dari rumah ke rumah, bahkan juga dari pabrik
ke pabrik ketika menjalang para buruh istirahat dan akan masuk saat pergantian
shift pagi ke shift siang.
Es
lilin yang kubawa bersama tremos hijau yang berukuran sedang. Ukuran yang
disesuaikan dengan ukuran tubuhku. Aku ingat ketika itu usiaku hamper 13 tahun.
Mengeluh?? Jelas aku pernah mengeluh. Sebab aku lelah karena sepulang sekolah
aku ingin istirahat. Tidak hanya itu. Aku ingin juga bermain bersama anak-anak
lainnya di pelataran belakang rumah.
Lalu
bagaimana lagi?? Aku harus membantu perekonomian ibu dan juga untuk biaya
menyekolahkan Sri. Sampai-sampai aku rela mengalah tuk tidak melanjutkan
sekolah lagi. Lebih baik Sri yang sekolah sampai lulus ditingkat atas. Ia yang
lebih kecil dariku. Siapa tahu ia bisa hidup lebih enak nantinya dariku.
Ibu
pernah protes padaku dan menyuruhku untuk lanjut lagi sekolahnya sekolah
menengah pertama, tetapi aku menolaknya. Kubilang, lebih baik aku bantu ibu dan
bapak saja. Biarkan Sri yang sekolah sampai tinggi.
Memang
terkadang demikianlah. Ada salah satu yang harus dikorbankan untuk mendapatkan
sesuatu. Pun juga, haruslah dikerjakan satu
persatu bilamana ada banyak dengan kapasitas yang berbeda-beda pula
tentunya. Bilamana dijalankan bersamaan tentulah bisa, tetapi jangan pernah
protes bilamana salah satunya menghasilkan sesuatu yang kurang memuaskan bagi
kita nantinya. Tak perlu marah bila dirasa hasil tidak memuaskan. Lebih baik
menerima dan mengoreksi serta membenahi untuk keesokan adalah hal yang lebih baik,
untuk meminimalisir kejadian yang tidak diingkan.
Iya..,
kau tak salah dengar mengenai meminimalisir kepada apa yang tidak diinginkan.
Sebab, bila kau menghindari itu tidaklah mungkin, kau tak akan pernah terhidari
oleh sebuah masalah baik kecil atau besar. Yang ada, hanya meminimalisir
masalah yang besar menjadi kecil, atau meminimalisir masalah itu tidak kembali
terjadi.
Mengenai
permainan di zaman dulu…, aku suka permainan kelereng dan petak umpet saat di
negeri yang belum berevolusi menjadi negeri saat ini. Permainan yang
mengasikkan sekali.
Petak
umpet di zaman itu, sulitlah mencari bila kau jadi penjaganya. Sebab tempatnya
sangat luas. Pepohonan masih banyak. Rumah-rumah juga masih jarang. Bisa saja
kau bersembunyi di balik pohon. Dan bisa saja juga kau sembunyi di semak-semak
belukar. Sampai-sampai ada peraturan batas persembunyian. Banyak sekali
permaianan, selain petak umpet, dan kelereng. Kurasa yang masih ada kedua
permainan itu di samping-samping kota. Bukan lagi permaianan lompat tali.
Lempar karet hingga rela membeli banyak karet untuk permainan dan sampai-sampai
banyak karet yang terkumpul ketika menjadi pemenang. Patil lele, yang
menggunakan kayu berjumlah dua. Gobak sodor. Indah sekali memang permainan
zaman dulu. Kebersamaanlah yang menjadikan permainan itu mengasyikkan.
Bukan
asyik sendiri-sendiri. Sampai-sampai tak ada perbincangan ringan atau basa-basi
dari kedua orang tua terhadap anak-anaknya…., bukan perbincangan seru mengenai
atas apa yang yang dishare bersama-sama dengang kawan bermain atau kawan
seumuran, lalu bersama-sama tergelak hingga sampai ada yang menangis
mendengarkannya. Bahkan juga merasakan tepukan pada bahu yang terasa nyata
sebagai pereda emosi. Bukan melalui tulisan, “Puk.. puk.. puk..” atau dengan
emotion yang menggambarkan kepeduliannya itu terhadap seorang teman yag sedang
bercerita dengan apa yang dialaminya.
Ada
lagi…, pakaian kami sederhana. Tak muluk-muluk dengan berbagai macam acsesoris
yang melambangakan elegan dengan berbagai macam emas yang menggantung dibagian
tubuh. Ukuran orang terdahulu bukan kepada emas yang dijadikan patokan akan
kepemilikan. Melainkan dari jumlah ladang, sawah dan hewan ternak sebagai alat
penyimpanan nilai uangnya. Untuk cadangan di masa yang akan datang.
Kuncir
dua, dan kepang adalah tatanan rambut terdahulu. Kau tahu, kepala kami seperti
ladang, ada batas-batas pemisahnya ketika dikuncir dua oleh ibu kami
masing-masing. Bedak tabor pun juga. Lebih-lebih lagi para pria yang berambut
belah dua adalah tatanan yang sangat-sangat memikat hati para perempuan yang
melihatnya. Terlebih ketika lelaki yang memakai celana yang sempit di bagian
atas, lalu lebar di bagian bawahnya. Ah…, ada semacam keteratirkan yang sesuatu
kepada kami perempuan yang melihatnya.
Pula
dengan laki-laki yang juga suka melihat tatanan kami yang sealu dengan rambut yang dikepang sekenanya saja. Terlebih
rambut yang panjang. Pula dengan pakaian yang dipakai sepadan dengan warna
kulit si perempuan.
Kau
akan tertawa…, aku saja terkadang tertawa melihat diriku yang terdahulu
berpenampilan seperti dulu. Sangat unik sekali. Jarang ditemukan di zaman
seperti ini. Pakaian-pakaian untuk datang ke kondangan pun di zaman itu terasa
lebih menyala, bahkan ada juga yang tidak senada. Lebih dari itu semua, aku
suka pakaian ibuku dan ibu-ibu lainnya ketika menghadiri kondangan. Yakni masih
saja mengenakan jarik dan pakaian zaman dulu di Jawa.
Bukan
asyik sendiri-sendiri. Sampai-sampai tak ada perbincangan ringan atau basa-basi
dari kedua orang tua terhadap anak-anaknya…., bukan perbincangan seru mengenai
atas apa yang yang dishare bersama-sama dengang kawan bermain atau kawan
seumuran, lalu bersama-sama tergelak hingga sampai ada yang menangis
mendengarkannya. Bahkan juga merasakan tepukan pada bahu yang terasa nyata
sebagai pereda emosi. Bukan melalui tulisan, “Puk.. puk.. puk..” atau dengan
emotion yang menggambarkan kepeduliannya itu terhadap seorang teman yag sedang
bercerita dengan apa yang dialaminya.
Justruuu,
sekarang lebih banyak yang sendiri-sendiri asyik kepada apa yang dimilikinya
itu. Bahkan tak sedikit yang kulihat. Kadang ada anak remaja yang tertawa
sendiri bahagia melihat barang yang dibawanya itu. Bukan remaja itu saja.
Anakku pun juga begitu terkadang.
Sampai
aku ingin merasakan keakaraban anak-anaku bersamaku ketika sore dan malam
seperti masaku terdahuluku seperti saat aku bersama, bapak-ibu dan juga Sri
seperti dulu saja, sangat sulit. Katanya aku ibu yang malu-maluin anaknya.
Sebab anakku sudah beranjak dewasa dan malu sebab dikatakan banyak anak-anak
zaman sekarang sebagai anak mamah, lebih tepatnya anak manja hanya karena
anaknya dekat dengan orang tuanya. Lebih-lebih dibakar kemaluannya itu kepada
kata-kata mereka, “Kau sudah besar Tra.., lelaki pula kau. Tak malu ke sana-ke
sini bersama ibumu terus? Pakai acara gandengan tangan? Memang kau masih anak
kecil??”
Ah
sudahlah…, anak kecil tidak akan pernah tahu bagaimana jadinya nanti ketika ia
sudah tua renta sepertiku yang saat ini dengan rambut yang berubah memutih
semua yang sebelumnya hitam pekat. Banyak rambutku dulu kini mulai menipis dan
tak setebal dulu, pun juga tak sepanjang dulu lagi.
Ia lupa, kalau ia sudah lama diperutku selama
Sembilan bulan. Sudah lama aku menggendongnya, membelajari segala hal dari cara
berucap dan lainnya. Bukan…, bukan aku pamrih. Aku tak pamrih. Aku hanya ingin
mengatakan sedikit mengenai ini. Khusunya untuk kau para muda di zaman ini.
Jangan
kau merasa malu bila kau dianggap anak mamah atau papah sebagaimana kata
kawan-kawanmu itu. Orang tuamu tidak memalukan seperti kata mereka….
Orang
tuamu juga butuh akan kehadiranmu baik sukamu atau dukamu. Bukan hanya dukamu
saja bila terkenda masalah. Melainkan juga bahagiamu. Ia tak meminta apapun
atas apa yang kau dapat dan menjadikan dirimu bahagia. Ia tak meminta sepeser
pun itu tanpa kau memberinya. Ia bahagia…, hingga orang-orang terdekatnya
diberikan kabar bahwa anaknya berhasil. Hal ini bukan karena pamer. Melainkan
suatu kebanggan dari orang tua kepada anak-anaknya..
Mungkin
bagimu kebahagiaan adalah medapatkan apa yang ingin kau dapatkan, hidup enak,
dan bebas financial. Tetapi bagi orang tuamu, kebahagiaan itu adalah melihat
anaknya berhasil, berhasil yang sesuai dengan kemampuan anaknya, berhasil yang
tidak muluk-muluk seperti anak tetangga yang berhasil sangat berlebih bila
dibandingkan denganmu suatu saat nanti. Itulah kebahagiaan orang tuamu. Simple
dan tak muluk. Cukup melihat anaknya berhasil.
Aku
rindu, akan masa itu. Kesopanan, permainan dan hubungan anak dan orang tua
sangatlah indah sebagaimana yang aku alami sewaktu itu di negeri 1980. Cara
yang lakukan untuk bisa berada di Negeri itu, aku akan membuka ulang
microchipku mengenai semua hal yang kusimpan di dalam microchip yang tertanam
di kepalaku, mengenai negeri 1980.
-Selesai-
0 komentar:
Posting Komentar