Kamis, 08 Juni 2017 | By: Unknown

Negeri 1980 - Part 6


(Oleh: Andrew A. Navara)

Listrik di zaman dulu sangat minim. Belajar pun dengan menggunakan cahaya yang sangat minim. Lampu ublik (lampu dinding) begitulah kami orang Jawa menyebutnya. Lampu yang berbahan bakar minyak tanah dan sumbu yang ada di ujungnya sebagai pencahayaannya. Kalaupun tak ada lampu ublik, lilin pun akan jadi sebagai penggantinya.
Perjuangan yang amat sangat, terlebih berada di dalam pelosok waktu itu. Membaca kadang tak jelas dengan pencahayaan minim. Mata terkadang juga sakit. Bahkan beberapa temanku pun ada yang sampai membaca bukunya dengan mendekatkan matanya yang amat sangat dekat meskipun saat pagi dan siang.
Kurasa hal itu dikarenakan faktor ia terlaku dekat dan memaksakan diri untuk membaca dengan pencahayaan lilin. Pencahayaan yang sekedarnya saja. Bukan karena kebanyakan menonton film-film kartun atau film drama negeri yang kurasa sudah sedikit akan manfaat yang diselipkan di sana. Justru lawakan yang semacam memberdayakan bullying kepada sesama. Terlebih lagi tontonan yang di luar pengawasan orang tua khusus anak-anak mereka yang amsih kecil yang tak menahu tentang segala apapun itu.
Lilin yang berukuran kecil pun masih dibuat dan digunakan. Tidak langsung menggantinya dengan yang baru. Menghemat. Ya…, menghemat. Bukan pelit. 
Bayangkan saja bagaimana sulitnya belajar di negeri 1980, bila dibandingkn dengan zaman sekarang ini? Zaman yang sudah berkelimpahan akan listrik. Namun para bibit-bibit yang masih kecil terkadang enggan untuk membuka buku mengenyam ilmu, ilmu yang lebih berkembang bila dibandingkan dengna ilmu di negeri 1980 dengan semangat kami sewaktu itu yang menggebu untuk mengenyam ilmu-ilmu baru.
Mengenai lilin…. Aku pernah membantu perekonomian ibu yang sangat kurang sekali saat itu, dengan menjajahkan es lilin dari rumah ke rumah, bahkan juga dari pabrik ke pabrik ketika menjalang para buruh istirahat dan akan masuk saat pergantian shift pagi ke shift siang.
Es lilin yang kubawa bersama tremos hijau yang berukuran sedang. Ukuran yang disesuaikan dengan ukuran tubuhku. Aku ingat ketika itu usiaku hamper 13 tahun. Mengeluh?? Jelas aku pernah mengeluh. Sebab aku lelah karena sepulang sekolah aku ingin istirahat. Tidak hanya itu. Aku ingin juga bermain bersama anak-anak lainnya di pelataran belakang rumah.
Lalu bagaimana lagi?? Aku harus membantu perekonomian ibu dan juga untuk biaya menyekolahkan Sri. Sampai-sampai aku rela mengalah tuk tidak melanjutkan sekolah lagi. Lebih baik Sri yang sekolah sampai lulus ditingkat atas. Ia yang lebih kecil dariku. Siapa tahu ia bisa hidup lebih enak nantinya dariku.
Ibu pernah protes padaku dan menyuruhku untuk lanjut lagi sekolahnya sekolah menengah pertama, tetapi aku menolaknya. Kubilang, lebih baik aku bantu ibu dan bapak saja. Biarkan Sri yang sekolah sampai tinggi.
Memang terkadang demikianlah. Ada salah satu yang harus dikorbankan untuk mendapatkan sesuatu. Pun juga, haruslah dikerjakan satu  persatu bilamana ada banyak dengan kapasitas yang berbeda-beda pula tentunya. Bilamana dijalankan bersamaan tentulah bisa, tetapi jangan pernah protes bilamana salah satunya menghasilkan sesuatu yang kurang memuaskan bagi kita nantinya. Tak perlu marah bila dirasa hasil tidak memuaskan. Lebih baik menerima dan mengoreksi serta membenahi untuk keesokan adalah hal yang lebih baik, untuk meminimalisir kejadian yang tidak diingkan.
Iya.., kau tak salah dengar mengenai meminimalisir kepada apa yang tidak diinginkan. Sebab, bila kau menghindari itu tidaklah mungkin, kau tak akan pernah terhidari oleh sebuah masalah baik kecil atau besar. Yang ada, hanya meminimalisir masalah yang besar menjadi kecil, atau meminimalisir masalah itu tidak kembali terjadi.
Mengenai permainan di zaman dulu…, aku suka permainan kelereng dan petak umpet saat di negeri yang belum berevolusi menjadi negeri saat ini. Permainan yang mengasikkan sekali.
Petak umpet di zaman itu, sulitlah mencari bila kau jadi penjaganya. Sebab tempatnya sangat luas. Pepohonan masih banyak. Rumah-rumah juga masih jarang. Bisa saja kau bersembunyi di balik pohon. Dan bisa saja juga kau sembunyi di semak-semak belukar. Sampai-sampai ada peraturan batas persembunyian. Banyak sekali permaianan, selain petak umpet, dan kelereng. Kurasa yang masih ada kedua permainan itu di samping-samping kota. Bukan lagi permaianan lompat tali. Lempar karet hingga rela membeli banyak karet untuk permainan dan sampai-sampai banyak karet yang terkumpul ketika menjadi pemenang. Patil lele, yang menggunakan kayu berjumlah dua. Gobak sodor. Indah sekali memang permainan zaman dulu. Kebersamaanlah yang menjadikan permainan itu mengasyikkan.
Bukan asyik sendiri-sendiri. Sampai-sampai tak ada perbincangan ringan atau basa-basi dari kedua orang tua terhadap anak-anaknya…., bukan perbincangan seru mengenai atas apa yang yang dishare bersama-sama dengang kawan bermain atau kawan seumuran, lalu bersama-sama tergelak hingga sampai ada yang menangis mendengarkannya. Bahkan juga merasakan tepukan pada bahu yang terasa nyata sebagai pereda emosi. Bukan melalui tulisan, “Puk.. puk.. puk..” atau dengan emotion yang menggambarkan kepeduliannya itu terhadap seorang teman yag sedang bercerita dengan apa yang dialaminya.
Ada lagi…, pakaian kami sederhana. Tak muluk-muluk dengan berbagai macam acsesoris yang melambangakan elegan dengan berbagai macam emas yang menggantung dibagian tubuh. Ukuran orang terdahulu bukan kepada emas yang dijadikan patokan akan kepemilikan. Melainkan dari jumlah ladang, sawah dan hewan ternak sebagai alat penyimpanan nilai uangnya. Untuk cadangan di masa yang akan datang.
Kuncir dua, dan kepang adalah tatanan rambut terdahulu. Kau tahu, kepala kami seperti ladang, ada batas-batas pemisahnya ketika dikuncir dua oleh ibu kami masing-masing. Bedak tabor pun juga. Lebih-lebih lagi para pria yang berambut belah dua adalah tatanan yang sangat-sangat memikat hati para perempuan yang melihatnya. Terlebih ketika lelaki yang memakai celana yang sempit di bagian atas, lalu lebar di bagian bawahnya. Ah…, ada semacam keteratirkan yang sesuatu kepada kami perempuan yang melihatnya.
Pula dengan laki-laki yang juga suka melihat tatanan kami yang sealu dengan  rambut yang dikepang sekenanya saja. Terlebih rambut yang panjang. Pula dengan pakaian yang dipakai sepadan dengan warna kulit si perempuan.
Kau akan tertawa…, aku saja terkadang tertawa melihat diriku yang terdahulu berpenampilan seperti dulu. Sangat unik sekali. Jarang ditemukan di zaman seperti ini. Pakaian-pakaian untuk datang ke kondangan pun di zaman itu terasa lebih menyala, bahkan ada juga yang tidak senada. Lebih dari itu semua, aku suka pakaian ibuku dan ibu-ibu lainnya ketika menghadiri kondangan. Yakni masih saja mengenakan jarik dan pakaian zaman dulu di Jawa.
Bukan asyik sendiri-sendiri. Sampai-sampai tak ada perbincangan ringan atau basa-basi dari kedua orang tua terhadap anak-anaknya…., bukan perbincangan seru mengenai atas apa yang yang dishare bersama-sama dengang kawan bermain atau kawan seumuran, lalu bersama-sama tergelak hingga sampai ada yang menangis mendengarkannya. Bahkan juga merasakan tepukan pada bahu yang terasa nyata sebagai pereda emosi. Bukan melalui tulisan, “Puk.. puk.. puk..” atau dengan emotion yang menggambarkan kepeduliannya itu terhadap seorang teman yag sedang bercerita dengan apa yang dialaminya.
Justruuu, sekarang lebih banyak yang sendiri-sendiri asyik kepada apa yang dimilikinya itu. Bahkan tak sedikit yang kulihat. Kadang ada anak remaja yang tertawa sendiri bahagia melihat barang yang dibawanya itu. Bukan remaja itu saja. Anakku pun juga begitu terkadang.
Sampai aku ingin merasakan keakaraban anak-anaku bersamaku ketika sore dan malam seperti masaku terdahuluku seperti saat aku bersama, bapak-ibu dan juga Sri seperti dulu saja, sangat sulit. Katanya aku ibu yang malu-maluin anaknya. Sebab anakku sudah beranjak dewasa dan malu sebab dikatakan banyak anak-anak zaman sekarang sebagai anak mamah, lebih tepatnya anak manja hanya karena anaknya dekat dengan orang tuanya. Lebih-lebih dibakar kemaluannya itu kepada kata-kata mereka, “Kau sudah besar Tra.., lelaki pula kau. Tak malu ke sana-ke sini bersama ibumu terus? Pakai acara gandengan tangan? Memang kau masih anak kecil??”
Ah sudahlah…, anak kecil tidak akan pernah tahu bagaimana jadinya nanti ketika ia sudah tua renta sepertiku yang saat ini dengan rambut yang berubah memutih semua yang sebelumnya hitam pekat. Banyak rambutku dulu kini mulai menipis dan tak setebal dulu, pun juga tak sepanjang dulu lagi.
  Ia lupa, kalau ia sudah lama diperutku selama Sembilan bulan. Sudah lama aku menggendongnya, membelajari segala hal dari cara berucap dan lainnya. Bukan…, bukan aku pamrih. Aku tak pamrih. Aku hanya ingin mengatakan sedikit mengenai ini. Khusunya untuk kau para muda di zaman ini.
Jangan kau merasa malu bila kau dianggap anak mamah atau papah sebagaimana kata kawan-kawanmu itu. Orang tuamu tidak memalukan seperti kata mereka….
Orang tuamu juga butuh akan kehadiranmu baik sukamu atau dukamu. Bukan hanya dukamu saja bila terkenda masalah. Melainkan juga bahagiamu. Ia tak meminta apapun atas apa yang kau dapat dan menjadikan dirimu bahagia. Ia tak meminta sepeser pun itu tanpa kau memberinya. Ia bahagia…, hingga orang-orang terdekatnya diberikan kabar bahwa anaknya berhasil. Hal ini bukan karena pamer. Melainkan suatu kebanggan dari orang tua kepada anak-anaknya..
Mungkin bagimu kebahagiaan adalah medapatkan apa yang ingin kau dapatkan, hidup enak, dan bebas financial. Tetapi bagi orang tuamu, kebahagiaan itu adalah melihat anaknya berhasil, berhasil yang sesuai dengan kemampuan anaknya, berhasil yang tidak muluk-muluk seperti anak tetangga yang berhasil sangat berlebih bila dibandingkan denganmu suatu saat nanti. Itulah kebahagiaan orang tuamu. Simple dan tak muluk. Cukup melihat anaknya berhasil.
Aku rindu, akan masa itu. Kesopanan, permainan dan hubungan anak dan orang tua sangatlah indah sebagaimana yang aku alami sewaktu itu di negeri 1980. Cara yang lakukan untuk bisa berada di Negeri itu, aku akan membuka ulang microchipku mengenai semua hal yang kusimpan di dalam microchip yang tertanam di kepalaku, mengenai negeri 1980.

 -Selesai-








0 komentar:

Posting Komentar