(Oleh: Andrew A. Navara)
Kau
boleh saja, mengatakan, ‘Orang Kuno…, Ndesoo…, Nggak Modern…, Terlalu Berisik.’
Silahkan saja. Aku tak apa-apa. Mungkin orang terdahulumu pun juga tidak
apa-apa kepada apa yang kau buat candaan itu. Candaan yang terkadang buat kami
merasa tersindir, tanpa sepengetahuan kalian. Bukan membawa perasaan….
Melainkan ini mengenai perasaan. Tidak ada yang bisa mengerti perasaan orang
lain, terkecuali orang itu sendiri dan sang Pencipta.
Kau
tentunya juga lupa sepertinya. Bagaimana tidak?? Kau kini menikmati sisa-sisa
peninggalan kami di saat itu. Bukankah ibu, bapak, kakek, nenek, bahkan
canggamu terdahulu adalah orang lama yang ada di negeri 1980 dan sebelumnya?
Bukankah
teknologi masa kini dikembangkan juga masih berada dalam ranah peralatan di
masa lalu untuk dikembangkan mengikuti perkembangan zaman terkini? Bagus
memang, dengan demikian yang terdahulunya membuat kami susah kini menjadi
mudah. Dulu yang tidak tidak ramah lingkungan, kini menjadi ramah lingkungan
dan menjadikan lungkungan adalah factor paling utama.
Lupakah?
Ah.. sudahlah. Aku tak mau memintamu mengingatnya lagi mengenai masa itu. Kau
akan berkata. “Untuk apa masa lalu diingat. Untuk apa bila yang sudah terlewati
itu dibuka kembali, lalu saat dibuka akan terperangkap lama di dalamnya. Jalani
saja yang terjadi saat ini. Rencanakan pula untuk hari esok. Tak perlu ingat
akan hal yang sudah terlewati.”
Benar
bukan? Benar atau tidak itu bukan urusanku. Melainkan itu urusanmu. Bagaimana
pun aku tak akan bisa memintamu untuk sependapat denganku sebab aku saja terkadang
tak sependapat denganmu. Pun juga denganmu. Negeriku sangatlah berbeda dengan
negerimu saat ini yang jauh lebih modern dan berkembang pesat bila dibandingkan
dengan Negeri 1980.
Negeri
yang masih sekali minim teknologi. Minim teknologi tak menghentikan mengenai apa-apa
yang akan dikerjakan. Jangankan untuk minim teknologi. Listrik pun juga sangat
minim sekali. Telepon genggam? Ah.., dulu belum ada yang namanya telepon
genggam. Terlebih pesawat telepon. Komunikasi sangatlah sulit, bilamana
mempunyai kerabat yang jauh dari kami. Meskipun jauh, kami selalu menyempatkan
diri untuk berkumpul disaat setahun sekali saat berlebaran. Terasa kurang,
bilamana lebaran tak berkumpul dengan sanak saudara.
Seperti
yang dirasakan oleh Bik Mun, tiga tahun sebelum ia kembali kepada sang
pemcipta. Ia kerap mengharap anak bungsunya yang bekerja di luar negeri kembali
ke kampong halaman. Bersama-sama merayakan lebaran, seperti pada keluarga
lainnya. Tak meriah memang, sederhana, namun menyenangkan sebab hanya dimomen
seperti ini, keluarga besar berkumpul. Tetapi tidak dengan Bik Mun. Tiga tahun,
berlebaran hanya dengan satu anaknya saja. Tidak dengan anak bungsu yang kerap
diharapkan kedatangannya. Sepucuk surat pun juga tak pernah datang. Entahlah,
apakah pak pos lupa mengantarkan surat anak bungsu Bik Mun? Ataukah alamat pos
sedang menuju ke rumah yang salah?
Guratan
wajah tuanya, penuh akan harap untuk bisa berbincang ke sana-kemari antar
sesame perempuanya. Minimal bisa menatap wajah anaknya itu, apakah masih tetap
ataukah ada perubahan? Entahlah anak bungsu sedang ke mana? Sudah tiga tahun
sebelum Bik Mun kembali ke sang kuasa, tak pernah ada kabar. Semoga saja, anak
bungsu Bik Mun baik-baik saja di sana, tidak seperti yang dikatakan oleh
tetangga sebelahnya yang bernasib sama dengan anak Bik Mun yang sedang bekerja
di luar negeri, sebagai pembantu orang-orang asing di sana.
Mengenai
negeri 1980. Aku suka menyebutnya negeri 1980, meskipun aslinya yang kumaksud
adalah era 80an. Ada yang salah? Mungkin ada. Mohon untuk dimaafkan, sebab aku
menambahkan angka 1 dan 9 di depan angka 80. Bukan…, bukan hanya karena alasan
tahun itu adalah tahun 1980.
Aku
suka menambahkan angka 1 dan 9, selain aku suka negeri 1980. Kurasa negeri 1990
aku juga mencintainya. Tenang, bilamana aku nanti mengajakmu masuk ke dalam
negeri 2000, aku akkan pasti menukiskannya negeri 2000. Bukan negeri 19200.
Aku
memang tak pandai seperti yang kau kira, tetapi aku tahu sedikit mengenai
aturan. Tak apa pula bila kau anggap aku tak pintar. Tetapi diriku meengatakan
aku jauh lebih dari yang kukira dan jauh dari kata negatif yang kau ciptakan
sendiri. Aku terima penilaianmu. Tetapi aku juga berhak menilaiku dan tidak
mendengarkan tentang kata negatif yang kau ucapkankan? Benar bukan?
Bilamana
nanti aku mengajakmu ke negeri 2000, aku tak akan menyebutnya 19200, hanya
karena aku suka angka 1 dan 9 aku menyelipkannya disetiap angka-angka. Mengapa
dengan angka 1 dan 9 itu?
Ah…,
sudahlah itu menjadi bagian dari rahasiaku. Kalaupun kau kuberi tahu, belum
tentu juga memperhatikan dan mungkin pada golongan generasi yang muncul yang
aku tak tahu dari mana asal muasalnya akan mengatakan, ‘Hmmm, nggak nanya tuh!’
ketika nanti mereka akan mendengarkan penjelasanku.
Namun.
Mohon maaf. Aku tak akan menyebut negeri 2000. Karena aku lebih suka menyebut
negeri saat ini atau zaman saat ini, bila dibandingkan negeri-negeri 1980 di
dalam apa yang ingin kutunjukkan kapadamu mengenai negeri 1980 yang aku
rindukan, yang aku masih saja menyimpannya di dalam microchipku.
Ya…,
aku tahu betul. Ketika pada negeri 2000 ku tambahkan 1 dan 9, hanya karena aku
menyukai angka 1 dan 9 saja sehingga aku memaksakannya. Tak mungkin juga
keadaan itu dipaksa bilamana realitanya tak mengizinkan, lebih lagi hal itu
adalah hal yang sudah baku dan memang harus dibakukan dan tidak bisa
dirubah-rubah lagi.
Namun
bila kau percaya dapat memaksa dan merubahnya, kau bisa saja. Lebihkaan
kepercayaaanmu mengenai hal itu, lalu imbangi dengan action, dan tak lupa
ingatlah kepada Tuhan. Tuhan adalah segala-galanya. Ia pula yang melancarkan
atas apa yang kau mau. Tak mungkin baginya pula kepada apa yang akan
dikehendakiNya.
Mengenai
Alam. Alam negeri 1980. Begitu berubah jauh dengan alam negeri 2000. Kesantunan
mulai runtuh. Panggilaan kepada orang yang berumur dengan pangilaan 'kamu'
bukan lagi panggilan 'nama' atau panggilan bahasa halus dari bahasa ibunya.
Kenakalan
remaja semakin menjadi. Hamil diluar nikah mulai menjadi menggila. Perempuan
keluar rumah malam-malam dengan lawan jenis sudah menjadi tradisi. Printah agar
tidak pulang terlalu malam, kerap diganti dengan persepsi untuk pulang pagi
atau pulang esok di luar jam-jam malam tentunya.
Pakaian
pun juga mulai meniru budaya barat. Pakaian ketat yang memperlihatkan kemolekan
tubuhnya, bahkan juga menarik sepadang mata lawan jenis untuk melihatnya
lekat-lekat dan tak mau berpindah ke arah yang lain. Ah…, di zaman seperti,
apalah arti sebuah himbuan, bilamana ia belum merasakan apa yang sudah
dirasakannya nanti. Berbeda dengan di negeri 1980. Kebanyakan mereka patuh
kepada himbauan yang diberikannya. Bukan.., bukan alas an zaman dulu kurang
modern. Melainkan ke-modern-nan lah yang merubah perilaku pelakunya, mau tak
mau, sebab bila tak mau akan dianggap ndeso, dan bila mengikutinya, ia dianggap
sebagai golongannya.
.
Aku
ingat ketika itu…, adikku yang bernama Sri kerap kali dapat himbauan dari ibu
ketika jam sudah menginjak waktu maghrib. Disuruhnya masuk Sri ke dalam,
meskipun ia masih main bersama kawan-kawannya di luar sana. Tak ada permainan
hingga larut malam, tak ada petak umpet saat malam. Permainan yang ada hanyalah
permainan ketika matahari masih terlihat.
Bukan
hanya Sri saja yang masuk ke dalam rumah. Dua ekor ayam peliharaan bersama
empat anaknya dimasukkan pula ke kandang oleh ibu. Katanya, “Ayam akan
mengalami sakit rabun senja ketika sore untuk sementara. Oleh sebab itu
dimasukkan ke dalam dengan bantuan.”
-Bersambung-
0 komentar:
Posting Komentar