(Oleh: Andrew A. Navara)
Negeriku sungguh
elok nian. Hamparan hijau rumput dan juga dedaunanan hijaunya. Tanahnya pun
khas sekali aromanya, setelah air hujan menggenanginya dan kemudian meresap
perlahan di dalamnya.
Udara segar pun
menyeruak khas pula saat kalimah surat pengantar pertanda detik-detik yang
segera memasuki shubuh. Lalu lalang kendaraan bermotor pun tak cukup banyak,
masih banyak yang mengenakan sepeda kayuh. Dominasi kendaraan pribadi pun juga
tak sebanyak seperti yang kau lihat saat ini.
Negeri
1980. Begitulah aku menyebutnya. Negeri yang masih elok. Aroma alam yang masih
mendominasi semua wilayah. Tidak seperti Negeri 2016 ini.
Apa
kau tahu? Negeri 1980? Andai kau tahu. Kau akan bahagia berada di sana. Aku
saja ingin berada di sana lama-lama, bila kutahu begini jadinya negeri ini.
Alam sungguh berbeda. Pula tak dapat ditebak. Tawa riang anak kecil yang kadang
parau juga tidak pernah terdengar seperti ketika itu. Kicau burung pun juga tak
terdengar indah dan bersahutan. Pun kumpulannya yang terbang berarakan
menjelang mentari terbit dan juga menjelang senja.
Negeri
1980. Aku hanya bisa menjelajahnya melalui imajinasiku ketika terlelap. Bukan
lagi menikmatinya secara real,
sebagaimana dulu kala.
Ya..
Aku tak bisa berada di Negeri 1980 itu saat ini. Tetapi aku bisa ke sana
melalui imajinasi yang masih tersimpan di ruang microchips otakku ini.
***
Aku
suka di negeriku ini. Terlebih saat penghujaan datang. Saat para petani menuai
hasil kerja kerasnya dan diperjualbelikan pada konsumen dan kadang juga
keluarganya untuk dinikmati bersama.
Kata
orang, negeri 1980 yang kini sedang berevolusi menjadi negeri 2000, tanahnya
adalah tanah surga (Mungkin bukan hanya pada saat di negeri 1980, sebelumnya
pun demikian). Apapun yang ditancapkan akan tumbuh dengan mudah. Demikian banyak
sekali seharusnya potensi pertanian yang seharusnya ada di negeriku.
Negeri
2000, cukup menimbulkan keresahanku. Pertanian/sawah yang dahulunya begitu
banyak dan luas, kini hilang. Bukan padi dan jagung yang tumbuh. Bukan pula
rerumputan yang menggunung di sudut persawahan yang dikumpulkan petani untuk
makanan ternak mereka…. Melainkan, tumbuh bangunan yang berjejer-jejer mewah…,
pula dengan bangunan perkantoran yang bersaingan akan tinggi dan besarnya.
Aku
meringis pucat. Membayangkan. Bagaimana bila negeri 2000 berevolusi menjadi
negeri 3000 atau 4000 nanti? Jangankan di negeri itu. Dinegeri saat kini,
negeri 2000?? Apakah sisa-sisa persawahan yang masih ada disekitaran dataran
tinggi nantinya akan ada? Aku harap akan ada nantinya. Itu sangat penting. Tak
mungkin kita terus mengambil produk dari negeri lain yang antah berantah yang
memasukkan bahan pokoknya, lalu kita makan dengan lahap tanpa memikirkan muasal
dari mana itu.
Ya..
semoga. Aku berharap kelak di negeri 2000, 3000 atau 4000, persawahan akan
masih ada.. dan semakin lagi diperluas. Sebab perkembangan semakin zaman,
semakin banyak dan membesar nantinya.
***
Persawahan
yang indah sekali, yang ada pada negeri 1980 dulu dan sebelumnya masih ada
beberapa yang ada saat ini. Sebagaimana pada pulau saudara tetangga yang masih
di dalam negeri tentunya. Bahkan juga masih terjaga kelestariannya.
Hehijauannya
berbagai tanaman di sawah bergoyangan ke sana kemari bermain bersama angin. Dan
ada pula yang menguning. Padi…, Jagung…, Teh…, Tebu…, Lombok…, Melon…, Mentimun…,
dan lain-lainnya.
Terdapat
pula burung pipit yang kerap datang berpasangan beradu bersama para petani.
Tidak hanya satu pasang, melainkan berpasang-pasang yang berjumlah cukup
banyak.
Aku
ingat betul di negeri 1980 itu. Disetiap persawahan selalu ada tali-tali
memanjang bersama logaman kecil yang bilamana ditarik akan mengeluarkan bunyi,
dan kemudian kumpulan pipit berlarian ke udara. Larian pipit kadang membuat
petani cukup senang, tetapi kesenangan yang sedikit. Sebab pipit cukup nakal
dan suka bermain dengan tanaman para petani…, ia kerap kembali lagi setelahnya
diusir. Pula ada yang memasang patung buatan ala sekadarnya, bukan patung
semen. Melainkan dari inisiatif petaninya. Kayu.. plastik.. dan jerami.
***
Ketika hujan
datang ringkikan jangkrik dan ocehan katak saling saut-menyaut nyaring hingga
terdengar di dalam kamar. Mata terkadang sulit memejam akibat suara yang cukup
nyaring tersebut, terlebih setelah hujan yang membasahi persawahan. Tentu saja,
aku kadang mengantuk di kelas sewaktu sekolah.
Bukan
karena cuacanya yang terlalu dingin saat penghujan sehingga dapat menjadikan
alasannya sebagai penyebab kantuk yang melanda…. Melainkan suara-suara nyaring
itu. Suara nyaring yang tak lagi kudengar sangat nyaring di negeri saat ini.
Kalau pun ada, jumlahnya hanya sedikit. Dan tidak senyaring terdahulu bilamana
penghujang datang.
Ada
rasa takut memang. Terlebih bilamana katak yang masuk ke dalam rumah. Ingat
akan kata bapak, "Bilamana katak mengencingi matamu, kau akan buta. Ya,
seperti Bik Mun." Sampai ketakutan, aku mau kencing saja harus
membangunkan bapak dan ibuku. Atau aku menahannya sampai suara-suara itu mulai
reda. Walaupun aslinya kebutaan Bik Mun, tetangga rumahku itu buta bukan karena
dikencingi katak, melainkan gagal operasi mata saat zaman beliau berjuang
bersama tentara mempertahankan negeri sebelum negeri 1980 yang kuketahui saat
aku sudah cukup mengerti.
Begitulah
orang tua. Anak tak dapat dibilangi baik-baik, akan diberikan contoh ekstrim
yang diderita oleh orang yang dikatakan itu kepada anaknya. Meskipun hal itu
sulit dinalar. Bisa juga bagian dari kepercayaan yang sulit dipahami secara
ilmiah. Terbukti memang, terbukti ampuh untuk membuat anak-anak mereka menurut
walau... sulit dipahami secara ilmiah.
Bukan hanya,
mengenai katak, bila mata dikencingi akan mengakibatkan kebutaan. Namun juga
dengan bentuknya yang membuatku bergidik. Sedikit basah dan membuatku geli.
Ditambah lagi saat ia mengeluarkan suaranya. Iya menggelembungkan bagian
lehernya terlebih dahulu lalu setelahnya suara khasnya itu keluar. Selain itu
juga lompatannya sangat cepat dan tinggi sekali untuk seukuran katak seperti
itu.
***
Kebun
teh juga. Ada pemandangan yang indah. Kulihat seorang ibu-ibu dengam topinya
besar, sembari memggendong tempat untuk menampung hasil petikan daun teh yang
begitu terlihat sangat cekatan sekali dengan menggunakan tangannya. Tak seperti
sekarang. Beberapa ada yang menggunakan mesin.
Masih
saja terjaga mengenai kelestarian kebun teh. Aku menyukainya saat akhir pekan
sekolahku dulu. Selalu menyempatkan diri pada kebun teh, sembari mendengarkan
cerita-cerita Paman Arul yang mengenai dongeng-dongeng terdahulu, baik legenda
bahkan juga fabel. Dongeng sangat lebih indah bila dibandingkan dengan tontotan
televisi. Sebagaimana saat itu banyak yang menyukai tontonan televisi yang
masih berlayar hitam putih. Bahkan sampai rela sekali mengunjungi rumah Pak
Lurah hingga larut-larut untuk menyaksikan berita yang lebih baru. Aku masih
ingat. Saat itu yang ada masihlah didominasi oleh TVRI. Belumlah ada stasiun
pertelevisian yang lainnya terkecuali TVRI.
-Bersambung-
1 komentar:
Di negeri ini ku dilahirkan,
Hingga ku jatuh,
Terbangun lagi,
hanya tuk mencari ranah yang sama.
Tak tergantikan,
Namun tetap semangat tuk mencari,
Dan menanamkan,
Sedikit banyak polesan milenium.
Posting Komentar