Kamis, 23 Juli 2015 | By: Unknown

Tentangnya - Part 3: Saat Dengannya



Aku suka rembulan yang tersenyum miring di pucuk terdekat tiang menara masjid itu. Letaknya terlihat begitu dekat dari pucuk menara berkilat cahaya dengan rembulan buatan yang tertancap sedang memangku bintang dengan ukuran yang sama besarnya.
Tak pernah bosan aku menatapnya. Senyum tipis yang dapat kulemparkan saat menatap senyum miring rembulan.
Andai...
Andai rembulan itu dapat mengucap sepatah kata aku ingin bertanya kepadanya. Kemana ia pergi saat sang raja siang itu menggantikannya. Apakah ia tertidur sejenak disuatu tempat? Ataukah ia menyelinap di dalam lautan... pucuk bukit... ataaauu... perbatasan daratan dengan langit?? Ataukaaahh?? Ia sedang bertugas malam di belahan negara yang ketika itu malam?
Tapi sayaaanngg..
Rembulan tak akan pernah berucap sepatah kata pun, meskipun ia pernah tersenyum tipis manis dan menawan di setiap ia keluar muda sebagaimana kata orang di rumah yang kerap menyebut bulan muda..., meskipun ia benderang setiap tanggal lima belas berdasarkan pertanggalan jawa.

***

Kinan. Perempuan yang duduk di belakang motor skuter matic yang baru saja dua bulan bersamaku. Ia diam saja tak banyak kata..., mungkin cuma tetesan yang membasahi pipinya setiap kali ia mendongak ke atas melihat rembulan itu. Dengan posisiku yang berubah, menjadikan setir motor sebagai sandaran punggungku.
"Bagaimana kehidupan di sana?" Tunjuknya. Sedetik sampai lima detik pandangannya mengitar. Berpaling dari rembulan. Melihat gemerlap bintang.
"Ia tak pernah sendiri di sana, bukan?" Kinan menggeleng pertanda tidak setuju, lalu mengatakan, "Kau melihatnya tak begitu teliti! Coba kau perhatikan!!"
"Benar-kan?? Ia selalu bahagia di sana. Memiliki banyak teman yang mengitarinya."
"Kau salah!!" Ahh.. perempuan itu begitu kritis. Usahaku selalu gagal untuk menghiburnya.
"Kedekatan mereka sangatlah jauh. Tidak begitu dekat seperti kita." Tunjuknya pada satu bintang yang terlihat sepuluh centi lebih dekat dari bawah kami.
"Lalu bukankah mereka berdekatan satu sama lain?"
"Tidak. Aku tak setuju!! Ia berjauhan. Kalaupun ia dekat. Apakah mereka berdua pernah menjabat tangan, atau bercumbu terlalu dekat seperti ini?" Ia mendekatkan tubuhnya kepadaku dengan membenamkan matanya yang kulihat menitikkan air. "Rembulan tak akan pernah bersatu memcumbu satu sama lain jika mereka saling mencinta." Lanjutnya sembari memelukku dengan sangat erat.
"Mengapa ia tak kita paksa saja untuk saling mencumbu jika memang ia saling mencinta?" tanyaku kepadanya sesekali mendaratkan kecupanku di keningnya.
"Lalu...?? Apakah kau berani memaksakan keadaan kita??"
Aku tak yakin..
"Kau saja diam tak menjawab. Bagaimana niat kau yang ingin memaksa rembulan itu? Kau mungkin tahu.." ia memberikan sedikit jeda setelah ia mendengarkan napasku menghembus berat. Lalu ia melanjutkan, "Kau tahu betul jika sesuatu yang dipaksakan akan membuahkan hasil yang tak baik. Tapi apakah kau tahu?? Jika sesuatu keterpaksaan itu nantinya akan melukai kita di masa yang akan datang? Bukankah keterpaksaan itu menuntut kita mencobanya? Bukan menjauhinya? Apakah jaman kita masih sama dengan jaman Siti Nurbaya? Apa kau rela aku menjadi milik lelaki lain yang meniduriku setiap malam, lalu menggendong hasil cintanya kepadaku dan  kau  melihatnya?" Ia menghapus air matanya dan merenggangkan pelukannya, "Maaf..." sedikit ia tersenyum sambil melihatku. "Wanita yang rendah... menangis memohon kepada lelakinya yang kutahu tak akan pernah bisa merebutku dari lelaki yang dalam hitungan bulan akan menjadi suamiku. Ahh.." ia tersenyum lagi sambil menahan sesunggukannya lagi, "bagaimana ia merebutku. Mempertahankankan cintanya seperti janjinya terdahulu saja rasanyaaa sudah tak ada."
Maaf aku tak bisa..., kataku di dalam benak. Mempererat genggam tanganya,tak lagi tubuhnya. Seperti lima menit yang lalu.

***

Waktu tak terasa begitu cepat. Rasanya baru saja aku mengenal Kinan kemarin. Dan begitu cepat ia akan menjadi milik lelaki lain. Aku memang lelaki payah! Yang tak dapat mempertahankan cinta hanya karena restu salah satu orang tua kami tak merestuinya. Ibu Kinan. Ya... ibu-Kinan tak setuju denganku. Sebab aku memiliki kasta rendah darinya. Seorang buruh dengan gaji yang tak menentu disetiap bulannya. Awalnya aku menyadari jika aku menjadi ibu-Kinan. Tak rela jika anak wanitanya itu hidup sengsara dengan gajiku yang tak menentu. Aku akan sependapat dengan ibu-Kinan, akan menyerahkan anaknya kepada lelaki yang lebih baik,berpendidikan, terlebih berpangkat seperti Banyu. Lelaki tegap, tinggi, putih, dan berpangkat mayor dengan seragam coklat polisi kebanggan setiap wanita lainnya. Mungkin akan bisa menjamin kehidupan Kinan. Tak akan pernah terlantarkan.., tergantungkan kebutuhan sehari-hari dengan modal gaji ya g tak menentu. Bisa saja sekarang makan enak dan keesokan tak dapat memakan makanan enak seperti kemarin. Atau... ketika ia memikiki anak dariku, ibunya akan lebih khawatir aku tak mampu menafkahi anak kami. Bagaimana bisa. Menafkahi satu orang saja terlihat sudah tak mampu. Bafaimana dengan menafkahi dua atau tiga orang nantinya?? Logikaku menghancurkan kepercayaanku ketika aku bersamanya terdahulu.
Aku merasakan ia tak yakin merangkulku ketika mengantarkan ia pulang. Maju mundur membenarkan duduknya yang mulai tak nyaman. Terasa sekali dari gerak motor yang semakin lama sedikit oleng ke kanan bahkan ke kiri juga.
Dibalik spion motor sedikit ku mencuri matanya yang sembab tadi ketika motor akan mengambil arah kanan untuk mendahului motor camry. Kau tahu..., sebenarnya aku tak ingin mendahului camry itu. Aku hanya ingin memastikan ia tak menangis lagi. Dugaanku benar. Ia masih menangisi keputusanku untuk tak mengikuti inginnya. Inginnya yang lari dari pernikahannya itu. Kuperlambat motorku dengan mengambil lajur paling kiri. Lajur yang sangat lambat sekali.
Kuraih tangan kanannya. Membimbing untuk mendekat dipunggungku  merangkulku seperti hari-hari kemarin. Namun tangan itu memberikan perlawanan sembari tangan kirinya menghapus bekas air matanya. Kucoba lagi untuk kedua... ketiga kalinya.. perlawanan itu semakin menjadi, dan membuatku membiarkan saja sambik mendengus... mepercepat motorku seperti kerasukan setan dan nyaris menabrak motor butut yang dikendari sepasang anak muda yang berpenampilan kumal. Kinan masih saja menjaga jarak duduknya. Sepertinya ia memberanikan diri karena kutahu ia tak pernah berani menumpangi kendaraan dengan laju kencang seperti yang kukendarai saat ini.

***


-Bersambung-
Kebagian 2


2 komentar:

Ernawati Lilys mengatakan...

Lanjut bang Andrew. Perkaya juga diksinya. :)

The Dannsaurus Blog mengatakan...

Design blognya keren banget. Gemana buatnya? Ajarinlah. Ada huruf f sama t nya nggak pindah2 gitu gemana?

Posting Komentar