(Oleh: Andrew A. Navara)
Ketika musim hujan kumerindukan kemarau, sebab di sana
ku selalu dapat bertemu dengannya tak seperti ketika hujan. Waktu selalu batal
ketika kami akan bertemu setelah malam kuserius berdoa agar esok tak hujan
hingga tak dapat terkatup mataku.
Ketika musim kemarau kumerindukan hujan, sebab dalam
hujan selalu tersimpan banyak alur cerita yang terdapat di sana, sambil
medengarkan butir tetes hujan dalam jumlah milyaran dengan nada yang beraturan
namun indah.
HUJAN…,
Kini ia pergi bersama butir milyaran tetes hujan yang
setelahnya tumpah dari awan yang tak kuat menahannya, meresap ke dalam
pori-pori tanah, dan ada pula yang menyatu dengan air sungat yang kemudian
akhirnya bermuara ke laut.
BULIR…,
Bulir yang seperti ia saat ini. Ia kembali ke asal ia
sebelum ada pertemuan antara aku dengannya di atas sana.
KEMARAU...,
Aku hanya dapat berharap kemarau agar berlalu cepat
tanpa menunggu enam bulan lamanya. Sebab aku ingin hujan menyapaku
selalu. Sebab hujan adalah dia, bagiku!
Kau tahu??
Kini aku merindukan hujan sepanjang tahun. Aku
berharap ia menjatuhkan salamnya kepadaku bersama hujan yang jatuh, lalu aku
ingin memeluk salam yang dikirimkannya kepadaku itu.
‘Hai kau…, aku rindu kepadamu. Kau pasti tahu betul di
atas sana bukan? Kau tahu juga pastinya, hanya hujan yang dapat mengobati rindu
karenamu.’
- Andrew A. Navara-
0 komentar:
Posting Komentar