(Oleh: Andrew A. Navara & TR. Lubis)
"Maaf, aku harus pergi."
"Bisa kan ditunda sampai besok?"
"Tiketnya sudah dibelikan adik, jadi besok aku harus
sudah ada di Bandara."
"Kenapa sih, selalu tiba-tiba? Kenapa selalu nggak
pernah cerita?"
Selalu kata maaf yang diucapkan kepadaku. Ia tahu betul. Aku
mudah luluh oleh kata 'maaf'. Sehingga tak banyak kata lagi selain hanya bisa
tertunduk dan menahan kekesalanku kepadanya. Pikiranku tidak menentu. Berat
rasanya meninggalkan seseorang yang aku sayang. Tetapi, bagaimana mungkin terus
dalam ketidakpastian. Aku tahu dia sangat menyayangiku dan berniat akan
menikahiku. Namun, untuk saat ini dia belum mampu. Aku pun tak ingin memaksa
apa yang ia belum bisa.
Lelaki sampai kapanpun tak akan bisa dipaksa. Bila ia dipaksa
akan menjadi. Lebih dari itu ia akan hilang tanpa berkabar.
Aku ingin segera bersama dengannya menjadi satu keluarga
dalam waktu dekat-dekat ini. Tak enak dipandang banyak orang. Hubungan kami
sudah berjalan 7 tahun lamanya. Sedangkan janjinya sudah digantungkan 3 tahun.
Alih-alih ia berkata, ia belum siap untuk menjadi seorang
suami yang akan bertanggung banyak kepada istri dan anaknya kelak. Aku tahu.
Lelaki memang berkewajiban untuk memenuhi keluarganya. Namun, hingga sebegitukah?
Aku bukan perempuan yang akan selalu menuntut lelakiku kelak seperti perempuan
lainnya yang menuntut untuk memenuhi kebutuhan pokok yang perbulannya bernilai
jutaan. Menuntut untuk ini dan itu.
Aku hanya tidak habis pikir, setelah bertahun-tahun dekat
denganku tenyata dia belum benar-benar mengenalku. Aku hanya gadis sederhana.
Aku tidak pernah berlebihan dalam berbusana. Baju yang aku pakai ini saja,
mungkin usianya sudah lebih dari lima tahun. Bukan aku tidak mampu membeli
pakaian baru, hanya saja aku selalu berpikir, jika bajuku masih layak untuk
dipakai kenapa harus beli yang baru? Hidup memang butuh kesederhanaan, tetapi
sederhana tidak harus membuat orang menjadi tersudut atau merasa tak punya
apa-apa. Bila memang perlu untuk membeli perlengkapan lain dan dirasa itu
memang perlu, kubeli. Tetapi kucukupkan dengan apa yang memamg menjadi
kebutuhanku. Bukan... membeli lain-lain saat melihat barang itu menarik dan
indah di mataku.
Lihat saja wajahku. Aku tak pernah terlihat seperti
wanita-wanita yang lainnya, penuh dengan polesan make up, lipstik yang
merah menyala terang seperti warna cabai yang sedang matang-matangnya. Bahkan
lihat saja, wajah polosku yang tanpa make up, tanpa taburan bedak, tanpa
polesan pemerah pipi maupun maskara.
Aku memang tidak membiasakan diri untuk memakai make up, bukan karena alergi atau pun
tidak mampu beli. Aku rasa cukup berhias dengan wudhu saja. Aku sudah merasa
cukup percaya diri walau dengan basuhan air wudhu di wajahku. Aku memang cuek,
bahkan teman-teman dekatku pun sering mengatakan aku seperti laki-laki.
"Cobalah pakai sedikit bedak. Bagaimana laki-laki bisa
mendekatimu, kalau saja kamu tak berdandan. Lebih lagi di jaman seperti ini,
Senja," kata salah satu temanku.
"Nggak aah, aku nggak biasa, seperti pakai topeng rasanya."
Aku mengelak setiap kali mereka memaksaku untuk memakai bedak.
Kadang, itu yang aku rasa aneh. Apakah kelak aku akan menjadi
beban baginya, selain katanya yang pernah bilang tak mampu dengan kondisinya
sekarang jika kelak berkeluarga.
Ia tak pernah sadar selama itu .... Aku tidak pernah
meminta apa-apa. Bahkan kepada orangtuaku sendiri pun aku tidak pernah
minta-minta. Aku lebih memilih bekerja untuk bisa mewujudkan apa yang aku
inginkan. Kapan ia akan sadar, bahwa bukan karena materi yang aku harap padanya!!
***
Percakapanku bersama senja.
Senja,
Engkau tahu apa yang
kurasa. Jika memang Tuhan telah menuliskanku bersamanya
Aku akan sangat bahagia. Tapi jika ternyata Pulau Jawa dengan Pulau Dewata
sangat jauh menurutnya, biarkanku di sini menunggu yang bersedia datang saja
Aku akan sangat bahagia. Tapi jika ternyata Pulau Jawa dengan Pulau Dewata
sangat jauh menurutnya, biarkanku di sini menunggu yang bersedia datang saja
Tak terasa airmataku
mengalir juga. Aku sudah berusaha ikhlas untuk melepaskan dan melupakannya.
Namun semakin aku berusaha keras untuk melupakannya, semakin jelas
bayangannya hadir di pikiranku.
Kenapa? Kenapa dia
begitu tega mempermainkan perasaanku? Jika memang karena biaya pernikahan, aku
sudah pernah menyampaikan kepadanya, "Maharnya semampumu saja, aku tidak
minta apa-apa. Kalau saja mahar itu bisa ditiadakan, aku pasti yang pertama
bilang, aku menerima kamu apa adanya walau tanpa mahar."
Tetapi, aku tidak
mengerti apa yang sedang terjadi dengannya. Ia sampai tega menggantungkan mimpi
yang pernah kami direncanakan sejak beberapa tahun yang lalu.
***
Tubuhku mengejang. Aliran darahku pun juga tak karuan. Saat
membaca pesan singkat Ardi. Ia mengharap untuk bertemu denganku di restoran
tempat ia bekerja di Denpasar. Katanya ini tentang Demas. Ini lebih penting.
Ah, jalanan Denpasar cukup ramai saat menjelang sore-sore
ini. Banyak penduduk luar yang berwisata. Terlebih lgi banyak orang yang
bersiap untuk rencana kegiatan malam. Denpasar tak pernah mati dari hiruk
pikuk orang-orangnya. Selalu ramai, meskipun malam larut dan juga saat mata
sudah terkatup rapat.
Saat sampai di tempat Ardi, aku lihat dia sudah berdiri di
depan cafe tempat ia bekerja, sambil sesekali menghisap rokoknya dan melihat
jam tangannya itu. Gelisah sepertinya.
Aku langsung mendekatiknya, "Ada apa dengan Demas, hingga
kamu menyuruhku datang ke sini. Kutelpon pun tak bisa. Selalu sibuk. Ada
apa dengannya?" Ardi, tertunduk
lesu saja.
"Duduklah sebentar. Mau minum apa kamu?" Tawarnya.
"Aku tidak butuh minuman. Cepat katakan tentang
Demas."
"Sebentar. Aku susah mengatakannya padamu. Aku tak yakin
kau akan kuat."
"Ia sakit parah?? Atau jangan-jangan sedang terkena
musibah??"
Ardi menggelengkan kepalanya dan mematikan rokoknya.
"Ardi akan menikah hari ini, dengan perempuannya yang
dari Jawa.”
"Tak mungkin!!"
"Bagaimana kamu bilang tak mungkin??"
Air mataku langsung saja mengalir.
"Tenanglah..”
"Sejahat itu dia padaku. Ia Bersama perempuan lain yang
dikenalnya dalam waktu yang ckup singkat. Blum satu tahun ia mengenal peremouan
itu."
"Mungkin 7 bulan, setahuku." Ardi memberikan
kelengkapan informasi akan hubungan Demas dengan perempuan yang akan
dinikahinnya hari ini.
Lidahku kelu. Aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kepalaku
mulai terasa berat. Pandanganku mulai gelap. Badanku mulai terhuyung. Nyaris
saja terjatuh. Namun ditahan oleh Ardi dari samping.
"Senja ... Nak ... kamu tidak apa-apa? Ada apa dengan
dirimu, sampai kamu hampir terjatuh?"
"Ayah ..." Kukuatkan mataku. Padahal sudah
berkunang-kunang.
"Iya Nak. Ini ayah ... ayah yang disusul Demas."
Tak mungkin Demas. Ah, ayah suka bercanda. Aku tak suka.
Disaat seperti ini ayah masih saja bercanda, berusaha untuk menguatkanku. Aku
paham sekali tentang ayah.
"Bukan perempuan 7 bulan yang dikatakan Ardi. Melainkan
7 tahun."
"Demas?"
Tak mungkin itu Demas. Aku rasa diri ini sudah mulai
menciptakan harapan akan Demas datang kepadaku. Seketika itu pandanganku gelap.
Dan aku tak tahu apa yang terjadi saat itu.
***
"Aku dimana?"
"Alhamdulillah, Senja kamu sudah sadar. Kita ada di UGD.
Kulihat lelaki pembual itu ada di depanku. Aku enggan
melihatnya. Kurasa ia sedang melangsungkan pernikahannya di Denpasar, sebab
kulihat ia berpakaian rapi hitam putih. Aku muak. Kupalingkan wajahku. Tak
kujawab pertanyaannya.
Kuhapus air mataku cepat2. Saat itu. Kulihat ada cincin putih
di jari manisku. Ku lepas dan kulihat itu terukir namaku. Saat itu juga kulihat
jari manisnya jg memakai jenis dan bentuk cincin yang sama.
"Iya. Itu cincin kita. Kita akan menikah sekarang
juga."
"Lalu siapa perempuan yang dimaksud Ardi tadi?'
"Kamu tidak salah mendengar tadi sewaktu di café bersama Ardi, tadi. Mengenai
perempuan itu adalah, sebenarnya dirimu." Demas melebarkan senyumnya
kehadapanku. "Aku sudah membawa penghulu di sini. Ia sudah menunggu di
luar. Segera kupanggil ia untuk menghalalkan hubungan kita. Merealisasikan
harapan dan mimpi kita di 3 tahun yang lalu." Lanjutnya.
Tangisku semakin menjadi. Bukan tangis sedih, melainkan
bahagia.
-Selesai-
_______
Andrew A. Navara
TR. Lubis
Blog: trlubis.blogspot.co.id
0 komentar:
Posting Komentar