Bila
enggan menonton televisi. Banyak cara yang bisa dilakukan di zaman itu. Melalui
siaran di radio. Radio selalu ada disetiap rumah, walapun tidak semuanya. Radio
zaman dulu masih menggunakan bataery ukuran tanggung dan ada pula yang
berukuran battery besar. Ahh.. sialnya…, sekarang tidak ada lagi ukuran battery
tanggung. Bagaimana tidak sial? Aku memiliki jam dinding di rumah yang hanya
bisa nyala bilamana diberi battery tanggung di dalamnya.
Radio pun yang kerap disiarkan
tak lain adalah mengenai hal-hal pemberitaan yang menjadi konsumsi orang-orang
terdahulu. Musiknya juga tak seramai seperti sekarang. Langgeng Jawa selalu
mendominasi. Begitu juga dengan subuh, selalu ada ceramah-ceramah agama dari
para ustadz.
Ada rasa penasaran saat mendengar
suara-suara mereka yang ada di dalam radio itu. Bagimana mimik wajah mereka,
bagaimana tingkah laku mereka saat bertanya dan menjawab pertanyaan, bagaimana
wajah mereka.
Mengenai wajah. Aku penasaran.
Apakah suara yang terdengar dengan tawa yang sumringah pun juga dengan
keseriusan itu, apakah terurai jelas dan benar seperti mimik wajah mereka pada
saat itu? Bukankah terkadang, saat wajah yang tak pernah tampak saat berbicara
jauh tidak mengundang banyak tanya? Bila dibandingkan bertatap muka, yang mana
bukan kata yang tak sama dengan mimik wajahnya saja yang ketika berbicara
menjadi tanya, melainkan juga paras dan lekuk tubuhnya.
***
Ada
hal menarik mengenai para petani di negeri saat itu. Para petani muda dan yang
sudah berumur yang mengenakan sepeda kayuhnya yang pada bagian tunggangannya
dibelakang itu diselipkan sebuah karung dan juga peralatan tani. Ada pula yang
bergoncengan romantic, bersama perempuannya yang sama-sama pula mengenakan topi
tani yang ukuran penampangnya sama lebarnya dan melingkar untuk menutupi mereka
dari sengatan matahari ketika siang menjemput.
Romantis sekali pasangan keduanya
itu. Sang perempuan mengaitkan tangannya ke pinggang laki-lakinya. Tak malu
atas tatapan mata yang melihat mereka. Masa bodoh. Meskipun keduanya
mengendarai sepeda kayuh. Bukan…, bukan masa bodoh sebenarnya. Sebab dahulu…,
orang yang sudah mempunyai sepeda kayuh itu lebih dari cukup.
Ya…, negeri 1980 jauh lebih ramah
pada lingkungan, terutama pada saat pagi hari masih terasa aroma segar udaranya
yang sangat-sangat aku rindukan.
Aroma suasana pagi dengan
hembusan angin yang membelai sediit rambutku, serta berbisik temtang sesuatu.
Saat siang pun juga, tak terlalu panas hingga tak menyebabkan pusing kepala
karena sengatan matahari yang terlalu panas seperti disaat ini. Kata orang,
sekarang terjadi global warming.
Aku tak cukup tak tahu megenai
global warming. Yang kutahu bagaimana aku memulai kembali membiasakan hidup
seperti dulu bersama alam, bukan malah mencari berbagai macam teori kepada
alam…, lalu diperdebatkan dari ujung hingga ujung negeri. Teralisasikah
semuanya? Kurasa tidak. Sebab hanya salah satu yang merealisasikannya, tidak
keduanya yang sama-sama bekerja sama untuk merealisasikannya. Bukankah dua
lebih baik daripada satu? Mengenai tentang kebersamaan, bukankah satu tak akan
menguatkanmu dan dua bukankah hal yang lebih baik.
Aku
benar-benar rindu kepada Negeri 1980. Aku hanya bisa merindukannya, melalui
ucapan, dan juga imajinasi. Tidak dengan berada di sana kembali. Aku tahu…, hal
yang sudah dijalani saat tubuh masih kecil dulu tidak mungkin akan bisa
didatangi dengan kondisi yang masih tetap sama…, tentunya ada perubahan yang
cukup kecil tanpa kita sadari dan cukup besar yang kita berpura-pura tidak
menyadarinya. Ya…, tidak dan berpura-pura menyadari yang sama halnya dengan
memperdebatkan segala masalah tanpa ujung penyelesaian dengan komitmen keduanya
untuk saling menjalankan kepada apa yang sudah disepakati bersama.
***
Demikianlah adanya. Sepeda kayuh masih sangat mendominasi di
negeri itu, tidak seperti kendaraan bermotor.. Roda tiga yang bernama becak pun
juga belum bermesin. Kaki-kaki para pengayuh becak begitu kuat, hingga otot
kakinya mengeras dengan guratan otot yang ke sana-kemari. Bukan sekedar otor
biasa seperti para binaragawan. Otot para pengayuh becak itu terselip otot yang
menyebabkan sakit luar biasa bilamana rasa capai mendatangi mereka (yang
dimaksud adalah varises pada kaki).
Kuat sekali para pengayuh itu saat membawa tumpangannya yang
jaraknya pun sangat jauh. Tak main-main. Dua-tiga kilometer pun bisa
ditempuhnya, walaupun hingga menimbulkan keringat yang diimbangi oleh napas
yang tak beraturan.
Bukan becak saja sebagai alat untuk mengangkut barang. Dokar
pun juga kadang. Bahkan sampai sapi yang berjumlah satu dan kadang dua pun kuat
menarik beban yang luar biasaaa..., beratnya, hingga barang yang diangkutnya itu
terlihat tinggi.
Kamu salah, bila mengira pengemudinya duduk sejajar dengan
sapi, atau di atas barang-barang yang diangkutnya. Hmmm.. Tak mungkin bila
pengemudi di atas barang yang diangkutnya itu, sebab barang yang diangkut itu
lebih tinggi dan lebih berat dari sapi yang berjumlah dua itu. Pengemudi itu
duduk di suatu teempat yang dibuatnya sendiri, di belakang sapi. Namun tidak
sejajar. Agak rendah sedikit.
Lebih pelan langkah sapi itu ketika menarik beban, tidak
seperti kuda.... Ada yang unik mengenai sapi yang berjumlah satu dan kadang dua
itu. Mereka selalu mengenakan kalungnya yang berbunyi nyaring yang akan membuat
orang lain mudah mengenalinya saat melewati depan rumah atau gang... dan suara
barang yang di bawanya itu menggesek jalanan, seakan menghapus jejak kaki kedua
sapi itu.
***
Tunggu. Mengenai sepeda kayuh. Aku ingat bapak. Beliau kuat
sekali mengayuhnya. Bisa sampai jauh-jauh sekali dan itu dilakukan setiap hari
saat berhenti dari penggilingan padi dan mulai menjual tempe.
Ibuku juga..., beliau kuat sekali jalan kaki menjajahkan
tempenya ke pasar yang jaraknya juga sama jauh dari jarak bapak menjajahkan
dagangannya tersebut.
Orang terdahulu, daya tahan mereka begitu kuat. Entahlah
mengapa.... Apakah dari pola makan mereka? Pola makan yang sangat jaih dari
yang namanya bumbu penyedap dan berkadaluarsa, bahkan yang bukan dari siap
saji. Apakah pola meempertahankan budaya-budaya terdahulu yang terlalu kuat?
Yang kini sudah mulai runtuh yang aku tak tahu juga, apa alasan
runruhnya/mengikisnya budaya tersebut. Entahlah..
Sepeda kayuh bapak, masih ada di belakang rumahku kini,
meskipun ayah kini sudah meninggalkan namanya saja. Sepeda kebo. Ya.. begitulah
negeri 1980 yang ada di pulau jawa bagian timur, menyebutnya sepeda kebo...,
kadang ada juga menyebutnya sepeda jengki.
Kau tahu. Aku selalu mengeluh kalau aku dibonceng napak
memggunakan sepeda itu. Karena tempat duduk bagian belakangnya itu sangat
keras. Terasa sakit sekali bokongku bila roda-roda sepedaa kayuh bapak beradu
sengan kerikil-kerikil kecil yang kadang pula dikendarai denfan sangat cepat,
terlebih disaat hujan.
Tak kalah menarik dengan motor sepeda seperti itu. Terpasang
pula lampu di depannya yang dihubungkan deengan dinamo yang mana kepala dinamo
berputar mengikuti gerak roda bagian depan keemudian menimbulkan aliran
listrik, dan menyalakan lampunya. Tidak otimatis menyalanya, dan bukan berarti
kalau siang nyala.
Dinamo bisa disetel. Bilamana pagi atau siang, kepala dinamo
dijauhkan dari bagian roda yang menghasilkan listrik yang keemudian menyalakan
lampunya... dan ketika gelap, baru-lah..., kepala dinaamo itu didekatkan hingga
menyentuh bagian dari roda yang membuat bagian kepala itu berputar karena
menyentih bagian roda depan, kemudian menjadikan lampu menyala.
Motor pun di negeri itu, bukan seperti motor sekarang
kebanyakannya. Mesin motor terdahulu masih menggunakan mesin dua tak. Kau tahu
apa itu mesin dua tak? Aku rasa kau akan menertawakan bila kau mengetahuinya,
terlebih kau yang baru terlahir di negeri yangvsudah tersedia berbagai macam
teknolgi mutakhir yang diciptakan sesamanya. Mungkin kau akan bilang, ‘Orang
Kuno…, Ndesoo…, Nggak Modern…, Terlalu Berisik.’ Memekakkan telinga. Bahkan
asapnya akan mebuat orang naik darah, khususnya yang naik darah orang-orang di
zaman seperti sekarang ini. Lihat.. sudah bisa kutebak... kau yang membaca pada
bagian ini ada yang terkikik dan mengiyakan sambil berkata dalam hati,
'Jelas... itu sangat kuno dan jauh dari modern seperti sekarang ini. Beruntung
aku bisa hidup di zaman seperti ini, sebab segalanya sudah modern dan memudahkanku
dalam beraktifitas.
Mengenai beruntung atau tidak beruntung itu tergantung kepada
individu masing-masing. Sebagaimana kepada hal mana yang bisa dibilang terbaik
untukmu dan untukku yang kita sendiri tak menahu apa yaang kita anggap baik itu
baik... apa yang kita anggap itu buruk, buruk pula kepada kita. Keburntungan
adalah sama halnya dengan kebaikan yang kita terima dan kita tentukan, bukan?
Cara terbaik adalah 'menerima'. Menrutku tidak hanya
'menerima', melainkan juga 'mau menerima'. Menerima juga kurasa tak cukup bila
yak diiringi oleh 'ikhlas lan legowo.'
-Bersambung-
.
0 komentar:
Posting Komentar