Lagaknya seperti
preman. Mintanya didengarkan dan suka berbuat semena-mena. Maunya pun tidak
ingin dilawan. Ia bak raja hutan yang tidak mau dikalahkan siapapun di dalam
lingkungannya, terlebih di dalam rumahnya sendiri. Adu fisik adalah andalannya,
karena ia lelaki. Padahal tidak dengan harus adu fisik. –padahal ia anak kecil
yang maunya dihargai, maunya dimengerti, tetapi tidak mau mengerti! Anak kecil
yang selalu membuat luka di dalam diri orang banyak yang sedikitpun ia tidak
mau tahu, meskipun ia tahu.
Orang
berpendapat, ia tidak mau mendengar. Orang ramai pun ia tidak suka. Dan itu
berlaku bagi orang yang ada di dalam rumahnya. Tidak dengan orang yang di
perkejaannnya dan juga tidak dengan teman sepermainnya. Kedua daripada itu
dijunjung olehnya, tidak dengan orang-orang yang ada di rumahnya. Keluarga
adalah nomor kesekian setelah ia memberikan materi, tidak dengan memberikan
kasih sayang ataupun perhatiannya. Ia kira, dengan materi segalanya selesai
begitu saja!! Ia kira hanya dia sebagai lelaki yang pulang malam setelah
bekerja dan menghabiskan tidurnya ketika libur itu hanya dia saja??
Marah dan marah
yang selalu diandalkan. Akan tetapi jika ia dirundung masalah, semua hal
didengarkanya meskipun ada beberapa yang ia muak mendengarkannya. Seakan singa
yang menjelma menjadi kelinci yang pesakitan!
Sungguh tak
pantas! Berucap demikian itu adanya. Mengatakan orang lain dengan kata-kata,
‘tidak punya pikiran’, ‘asu’, dan juga lainnya. Padahal dan pada kenyataan yang
ada, justru dialah yang tidak punya pikiran. Jika memang ia memiliki pikiran,
mengapa ia tak berpikir lawannya itu adalah kakaknya –mungkin sebutan itu tak
akan ada lagi dikeesokan harinya, ya mungkin …, karena kemuakan sudah diambang
batas dan ini adalah peristiwa ketiga kalinya- yang dikatakan asu.. asu.
Jika ia memiliki
pikiran, kemana saja ia? Sudah bekerja, kewajiban seorang anak kepada orang
tuanya tidak ada? Kemana saja ia, ketika libur? Anaknya tidak diperhatikan,
anak ingin dimengerti malah kena amukannya dan dimarahi hingga menjadi-jadi
sampai anaknya yang berusia dua tahun itu menangis seperti itu.
Lalu, jika ia
punya pikiran, tentu ia tidak membiarkan seorang istri yang baru melahirkan
anaknya yang belum genap 1 bulan itu, dibiarkan menaiki motor sendirian untuk
mengantarkan susu kepada anak sulungnya?? Kemana?? Siapa di sini yang tidak
memiliki pikiran!!
Jika ia memiliki
pikiran, mengapa ia yang dulu menangis dengan sedu dan sedan kepada ibunya yang
ketika ia merasa bersalah karena menato dirinya itu ketika jauh berada di pulau
yang lain, kemudian di pulau yang sama ia malah menambah tato dan membuat sedih
berlebihan kepada ibunya lagi, tak sebagaimana selalu ia berurai air mata
ketika berada di pulau yang lain, ataaau disaat ia terkena masalah, selalu
menangis dan meminta maaf kepada ibunya. Akan tetapi jikalau sudah reda
permasalahan itu, ia berulah lagi dan lagi. Luka yang sudah sembuh, tak akan
pernah diingat dan oleh karenanya sudah sembuh itu ia kembali menjadi semula
sebelum luka itu muncul dan sesudah luka itu sembuh.
***
Aku memang
selalu berada di rumah. Aku tidak seperti yang ia katakan, tak memikirkan
apapun seperti yang ia ucapkan dengan sangat mudah sekali itu. Aku juga punya
pikiran!! Ia kira orang yang menghabiskan hari-harinya di dalam ruangan sempit
itu, apa tidak memikirkan sesuatu hal?? Apa ia kira, di dalam ruangan yang
sempit itu, dihabiskan tidur, main facebook, twitter, atau games-games online
seperti dirinya?? Toh, ia juga tidak kuat jika berada di dalam ruangan yang
sempit itu. Ah, aku bosan dengan orang yang seperti itu. Dua kesempatan atas
kesalahan besarnya itu, disia-siakan saja olehnya dan, kemarin itulah yang
ketiga kalinya.
Satu hal. Ia tak
seharusnya mengatakan bahwa aku adalah saudara satu bapaknya!! Tidak
seharusnya!! Karena aku bukan anak dari bapaknya. Aku sudah tidak dianggap anak
oleh bapaknya itu!! Dan ia seharusnya sadar akan hal itu!
Apa salahnya
orang berbicara! Tak mau dengar, jangan didengar!! Kenapa ia seenaknya saja
menghentikan dan menyentak begitu! Dasar! Maunya menang sendiri. Orang lain tak
boleh berbicara, orang lain harus tunduk kepadanya. Dia harusnya sadar! Dia
bukan orang yang berjabatan tinggi dan dia bukan orang yang harus ditakuti dan
seenaknya saja menghetikan pembicaraan orang lain dengan cara menyentak seperti
itu!
Di sini, ia
seharusnya sadar. Bahwa, ia adalah orang biasa! Bukan orang yang memiliki
kekuasaan penuh di dalamnya. Pula bukan orang yang BERKUASA! (lagaknya, ingin
dihargai, ingin ditakuti, dan menguasai semua orang-orang yang ada di dalam
rumah itu diwajibkan tunduk kepadanya, ketika ia melantangkan dan meninggikan
suaranya. Apa ia kira, ia memiliki kekuasaan tertinggi di dalam rumah? Apa
mungkin ia merasa dirinya adalah sang raja agung yang mana orang-orang rumah
harus menuruti titahnya? Tak seharusnya ia begitu. Belum kaya raya, belum
memiliki jabatan penting saja, ia begitu dengan keluarganya sendiri –keluarga
dinomorkesekian kalinya setelah temannya yang dinomorsatukan- semena-mena dan
maunya menang sendiri). Orang yang demikian itu, kelak akan dikerdilkan dengan
caraNya, agar ia tersadar bahwa ia tidaklah seharusnya begitu!
Engkau yang
demikian itu, ingatlah akan perbuatanmu itu. Pada akhirnya, bukan temanmu yang
nomor satu dan yang berperan aktif selamanya, yang akan membantumu ketika kau
dalam kesukaran dan dilanda musibah atas dirimu, akan tetapi orang-orang yang
ada di rumahmu!!
-Selesai-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar