Pages

Rabu, 22 Agustus 2018

World in Comedy - Part 10: Seakan Ia yang Paling Berkuasa ...,


Lagaknya seperti preman. Mintanya didengarkan dan suka berbuat semena-mena. Maunya pun tidak ingin dilawan. Ia bak raja hutan yang tidak mau dikalahkan siapapun di dalam lingkungannya, terlebih di dalam rumahnya sendiri. Adu fisik adalah andalannya, karena ia lelaki. Padahal tidak dengan harus adu fisik. –padahal ia anak kecil yang maunya dihargai, maunya dimengerti, tetapi tidak mau mengerti! Anak kecil yang selalu membuat luka di dalam diri orang banyak yang sedikitpun ia tidak mau tahu, meskipun ia tahu.
Orang berpendapat, ia tidak mau mendengar. Orang ramai pun ia tidak suka. Dan itu berlaku bagi orang yang ada di dalam rumahnya. Tidak dengan orang yang di perkejaannnya dan juga tidak dengan teman sepermainnya. Kedua daripada itu dijunjung olehnya, tidak dengan orang-orang yang ada di rumahnya. Keluarga adalah nomor kesekian setelah ia memberikan materi, tidak dengan memberikan kasih sayang ataupun perhatiannya. Ia kira, dengan materi segalanya selesai begitu saja!! Ia kira hanya dia sebagai lelaki yang pulang malam setelah bekerja dan menghabiskan tidurnya ketika libur itu hanya dia saja??
Marah dan marah yang selalu diandalkan. Akan tetapi jika ia dirundung masalah, semua hal didengarkanya meskipun ada beberapa yang ia muak mendengarkannya. Seakan singa yang menjelma menjadi kelinci yang pesakitan!
Sungguh tak pantas! Berucap demikian itu adanya. Mengatakan orang lain dengan kata-kata, ‘tidak punya pikiran’, ‘asu’, dan juga lainnya. Padahal dan pada kenyataan yang ada, justru dialah yang tidak punya pikiran. Jika memang ia memiliki pikiran, mengapa ia tak berpikir lawannya itu adalah kakaknya –mungkin sebutan itu tak akan ada lagi dikeesokan harinya, ya mungkin …, karena kemuakan sudah diambang batas dan ini adalah peristiwa ketiga kalinya- yang dikatakan asu.. asu.
Jika ia memiliki pikiran, kemana saja ia? Sudah bekerja, kewajiban seorang anak kepada orang tuanya tidak ada? Kemana saja ia, ketika libur? Anaknya tidak diperhatikan, anak ingin dimengerti malah kena amukannya dan dimarahi hingga menjadi-jadi sampai anaknya yang berusia dua tahun itu menangis seperti itu.
Lalu, jika ia punya pikiran, tentu ia tidak membiarkan seorang istri yang baru melahirkan anaknya yang belum genap 1 bulan itu, dibiarkan menaiki motor sendirian untuk mengantarkan susu kepada anak sulungnya?? Kemana?? Siapa di sini yang tidak memiliki pikiran!!
Jika ia memiliki pikiran, mengapa ia yang dulu menangis dengan sedu dan sedan kepada ibunya yang ketika ia merasa bersalah karena menato dirinya itu ketika jauh berada di pulau yang lain, kemudian di pulau yang sama ia malah menambah tato dan membuat sedih berlebihan kepada ibunya lagi, tak sebagaimana selalu ia berurai air mata ketika berada di pulau yang lain, ataaau disaat ia terkena masalah, selalu menangis dan meminta maaf kepada ibunya. Akan tetapi jikalau sudah reda permasalahan itu, ia berulah lagi dan lagi. Luka yang sudah sembuh, tak akan pernah diingat dan oleh karenanya sudah sembuh itu ia kembali menjadi semula sebelum luka itu muncul dan sesudah luka itu sembuh.

***

Aku memang selalu berada di rumah. Aku tidak seperti yang ia katakan, tak memikirkan apapun seperti yang ia ucapkan dengan sangat mudah sekali itu. Aku juga punya pikiran!! Ia kira orang yang menghabiskan hari-harinya di dalam ruangan sempit itu, apa tidak memikirkan sesuatu hal?? Apa ia kira, di dalam ruangan yang sempit itu, dihabiskan tidur, main facebook, twitter, atau games-games online seperti dirinya?? Toh, ia juga tidak kuat jika berada di dalam ruangan yang sempit itu. Ah, aku bosan dengan orang yang seperti itu. Dua kesempatan atas kesalahan besarnya itu, disia-siakan saja olehnya dan, kemarin itulah yang ketiga kalinya.
Satu hal. Ia tak seharusnya mengatakan bahwa aku adalah saudara satu bapaknya!! Tidak seharusnya!! Karena aku bukan anak dari bapaknya. Aku sudah tidak dianggap anak oleh bapaknya itu!! Dan ia seharusnya sadar akan hal itu!
Apa salahnya orang berbicara! Tak mau dengar, jangan didengar!! Kenapa ia seenaknya saja menghentikan dan menyentak begitu! Dasar! Maunya menang sendiri. Orang lain tak boleh berbicara, orang lain harus tunduk kepadanya. Dia harusnya sadar! Dia bukan orang yang berjabatan tinggi dan dia bukan orang yang harus ditakuti dan seenaknya saja menghetikan pembicaraan orang lain dengan cara menyentak seperti itu!
Di sini, ia seharusnya sadar. Bahwa, ia adalah orang biasa! Bukan orang yang memiliki kekuasaan penuh di dalamnya. Pula bukan orang yang BERKUASA! (lagaknya, ingin dihargai, ingin ditakuti, dan menguasai semua orang-orang yang ada di dalam rumah itu diwajibkan tunduk kepadanya, ketika ia melantangkan dan meninggikan suaranya. Apa ia kira, ia memiliki kekuasaan tertinggi di dalam rumah? Apa mungkin ia merasa dirinya adalah sang raja agung yang mana orang-orang rumah harus menuruti titahnya? Tak seharusnya ia begitu. Belum kaya raya, belum memiliki jabatan penting saja, ia begitu dengan keluarganya sendiri –keluarga dinomorkesekian kalinya setelah temannya yang dinomorsatukan- semena-mena dan maunya menang sendiri). Orang yang demikian itu, kelak akan dikerdilkan dengan caraNya, agar ia tersadar bahwa ia tidaklah seharusnya begitu!
Engkau yang demikian itu, ingatlah akan perbuatanmu itu. Pada akhirnya, bukan temanmu yang nomor satu dan yang berperan aktif selamanya, yang akan membantumu ketika kau dalam kesukaran dan dilanda musibah atas dirimu, akan tetapi orang-orang yang ada di rumahmu!!

-Selesai- 







Tidak ada komentar:

Posting Komentar