Nak,
ketika salah berkatalah salah. Ketika benar berkatalah benar. Ketika ragu
jangan katakan apa-apa.
Di
sana banyak sekali akan kebenaran. Namun kebenaran mereka dibungkam ...
kebenaran yang penuh dengan keberanian itu juga terkadang akan menjatuhkan mereka,
bahkan juga nyawa mereka menjadi jaminannya.
Ada
yang juga salah, kemudian ia enggan mengatakannya hanya merasa dirinya-lah yang
paling benar ... hanya dirinya yang merasa paling sempurna ... hanya karena
dirinya menjadi atasanmu/seniormu yang akan malu
nantinya ketika ia mengakui kesalahannya. Tidak Mengakui kesalahan adalah
tingkah yang elegan baginya, berbeda dengan Mengakui ..., suatu tindakan yang
memalukan hingga berkata pada diri, 'Mau ditaruh di mana muka ini, kalau
mengakui salah.' Seakan-akan mereka-mereka itu, adalah manusia yang paling
sempurna, manusia super sempurna yang tak pernah melakukan kesalahan dalam
hidupnya. Bahkan lupa, sejak ia menjadi balita - remaja - hingga dewasa pernah
melakukan kesalahan. Mungkin. Mungkin kesalahan yang tidak ia sengaja, yang ia
sengaja, atauu yang tidak ia mau mengingatnya lagi.
Ada pula yang ragu-ragu itu
tidaklah berdiam dan tidak berkata-kata yang seharusnya. Justru mengatakan
benar yang belum tentu benar, salah yang belum tentu salah. Bahkan juga ...,
keberutungan ..., apa yang dikatakannya itu benar dan memang salah. Apa dengan
itu, tidak menimbulkan rasa malu ketika salah? Apa juga tidak menimbulkan yang
tidak-tidak juga ketika akan salah?
Ah, entahlah Nak. Sungguh aneh
dunia ini. Oh, tidak. Tidak hanya di zamanmu saja, zamanku pun juga ada. Aku?
Aku pernah menjadi seperti itu? Mungkin. Aku jugalah manusia. Namun, ketika aku
sudah mengetahui perihla itu, Nak. Apakah aku akan melakukan hal yang demikian
itu yang sudah aku ketahui? Tentu kau bisa menjawabnya sendiri. Kita hanya bisa
melakukan demikian itu, Nak. Meminimalisir, menghilangkan, dan ingat atau
mengikuti apa yang memang sudah kita ketahui.
-Andrew A. Navara-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar